Kamis, 23 Desember 2010

Cacala (pembuka)

CACALA (PEMBUKA)

Sultan Agung yang perkasa dan juga kejam telah memporak-porandakan semua. Demikian hebat kerusakan Giri, begitu pula hebatnya rasa takut anak turun Sunan Giri. Saking takutnya, Jayengresmi harus berpisah jalan dengan dua adiknya, Jayengsari dan Rancangkapti.

Sepanjang perjalanan itu, ia mencecap seluruh madu dan racun kehidupan. Tidak aada dalam sekali hisap. Tidak dalam setarikan nafas.

Ia kini bernama Syekh Amongraga. Ia tabalkan nama Amongraga itu ketika berada di daerah Banten. Penggelaran “Syekh” adalah pengakuan orang-orang atas kemuliaan hidup yang didapatkannya. Pengetahuan tentang agama, ilmu jiwa, ilmu hidup, serta juga ilmu mati. Ilmu luar dan ilmu dalam. Ilmu agal (wadag, fisik, kasar) dan ilmu alus (batin).

Amongraga bermakna: ia yang menjaga dirinya, hidupnya, kesentosaan jiwa dari berbagai godaan dan perilaku hidup yang nista. Ia telah tinggalkan nama Jayengresmi, bukan sekedar karena menyelamatkan diri dari kejaran mata—mata Mataram. Namun, baginya juga tekad untuk meninggalkan perilaku liar manusia yang mengumbar nafsu badani.

Jayengresmi, jaya ing saresmi, manusia yang digdaya dalam olah bercinta, adalah periode ketika nafsu duniawi masih menguasai diri Amongraga.

Dalam setiap detak jantung dan helaan nafasnya kini adalah dzikir panjang yang tak putus-putus.

Ki Bayi Panurta, seorang yang memiliki pengaruh besar, bukan hanya di Wanamarta, melainkan sebagaimana disebut oleh Kiai Ageng Karang, adalah guru besar olah batin dan jiwa para pembesar negara di Bang Wetan. Ia memiliki tiga anak, Tambangraras yang sulung, kemudian Jayengwesthi yang beristri Turida, dan si bungsu Jayengraga yang juga sudah beristri bernama Rarasati.

Dan bagaikan pendekar yang mempesona, semalaman Amongraga mengajarkan sola syari’at, tarekat, hakikat, dan makrifat, jayengwesthi dan Jayengraga seolah begitu cubluknya, amat sangat bodohnya, karena baru inilah mendapat wejangan ilmu yang begitu rumit dengan bahasa yang sangat sederhana. Hal itu membuat mereka merasa mantap untuk mengantar Amongraga pada sang ayah.

Ki Bayi Panurta bertanya cemas, etelah mengutarakan maksud, melamar Amongraga untuk anak perempuannya.

Panjaluke Ki Seh Amongragi,
Karane mangkono,
Ojo kaya maksiyat carane,
Mung krana Lah bae denkarsani,
Kapindhone lagi,
Kawingitan kalbu…,
(permintaan Syekh amongraga/jika demikian halnya/jangan dengan cara maksiat/semuanya karena ALLAH semata/juga karena niat suci batin kita…, : Serat Centhini, jilid VI, pupuh (mijil) 357:18)


MALAM PERTAMA

Centhini memang abdi kinasihnya.pembantu yang paling dikasihinya. Bahkan antara dia dan Denayu Tambangraras lebig seolah sebagai saudara kembar. Di mana saja ada Tambangraras di situ ada Centhini. Di mana saja.

Bahkan, di atas pelaminan tadi siang, Centhini juga dirias bak pengantin. Dan dia duduk tak jauh dari pelaminan. Telinganya mendengar geremengan orang-orang, “apakah pengantin perempuannya dua sekaligus?”

Kalau boleh dibilang, Tambangraras sangat tergantung kepadanya. Apapun jika hatinya bingung untuk memutuskan, pasti ia akan menanyakan bagaimanapendapat Centhini. Dan ia akan setuju apa saja yang dikatakan.

Tapi akibatnya, jadi merepotkan. Semua orang yang meminta persetujuan pada Tambangraras, akan terus langsung menemuinya. Mereka membujuk Centhini agar mempengaruhi Tambangraras.

Denayu Tambangraras berparas ayu. Kulitnya lencir kuning. Menurut simbok, memiliki katuranggan atau bentuk tubuh yang bagus. Merak ati. Menarik hati. Tak hanya lelaki, namun juga para perempuan yang mengidamkan tubuh sempurna seperti Tambangraras. Tetapi, kenapa waktu itu belum ada lelaki yang meminangnya? Kenapa menjadi perawan tua, sementara dua adiknya yang laki-laki sudah berumah tangga?

“karena ia pemilih,” kata simbok suatu ketika mengenai hal itu.

“apakah tidak boleh perempuan memilih?”

“bukannya tidak boleh. Tapi, itu akan menyulitkannya. Karena kalau dicari, lelaki itu terlalu banyak cacatnya…”

Denayu Tambangraras memang pemilih. Ia pernah bercerita padaku, agak sedikit menasihati, agar kalu mencari suami, carilah suami yang baik, pandai, dan santun.

Tapi, bukan hanya shalih. Syekh Amongraga juga tampan rupanya. Tubuhnya sempurna dan enak dipandang. Belum lagi tutur katanya yang santun. Budi pekertinya halus, rendah hati, namun berpengetahuan luas. Tentunya, Denayu Tambangraras senang mendapatkan yang diinginkan.

Apa yang kedua pengantin itu lakukan semalaman, apakah sudah bakda dukhul? Apakah sudah tertetesi air suci mani dari lelakinya?

“Kangmas Amongraga mengajari aya tentang syahadat, yang harus dibacakan sekali lagi oleh istri di depan suami…”

Sukur Alkamdulillah sireki,
Kang muga sira bisa-a krama,
Telung prakara ywa wengweng,
Pona sira kang emut,
Tyas den-gemi wedi gumati,
Lire wedi kang pasrah,
Ywa maoni muwus,
Mung lakonana kewala,
Kang tumemen ing lair tumekeng batin,
Kang mantep aja owah…,
(syukur alhamdulillah bagimu/semoga kau bisa menjalani menjadi istri yang baik/ada tiga hal yang harus kau ingat dalam hati/yaitu, wedi, gemi, gumati (takut, hemat, perhatian)/takut ialah pasrah/jangan membantah/lakukan saja dengan ikhlas, lahir dan batin/mantaplah, dan jangan goyah…, : Serat Centhini, jilid VI, pupuh (dandanggula) 360:82)

Apakah tidak ada tembang-tembang suami mengabdi pada istri?


MALAM KEDUA

Jangan sekali-sekali berani berkata sembarangan, apalagi membantah. Karena itu akan membuat kita membelakangi dan kehilangan rasa hormat. Itu bukanlah ciri manusia yang mulia. Jangan pula membuka rahasia rumah tangga kita kepada siapa pun, karena itu merendahkan derajat kita. Serendah-rendahnya.

Ah, betap enaknya laki-laki. Begitu dimuliakannya ia. Sementara, perempuan hanyalah pelengkap. Pelengkap penderita. Karena sebagaimana barang, perempuan juga bisa dibuang, dijual, dititipkan, diduakan, ditigakan. Semakin banyak simpanan laki-laki atas semua barang itu, semakin mulialah ia di mata orang lain.

Merekapercaya bahwa malam pertama pengantin harus dijaga hingga subuh tiba. Agar semua selamat sejahtera. Agar para iblis jajil (yang jahat) laknat tidak mengganggu manusia. Karena itu, mereka bukan hanya dijaga dengan berbagai hiburan, agar setan terlena dan lupa pada tugas menggoda. Tetapi, juga harus dijagai dengan suluk dan mantra-mantra.

Belum juga sampai di rumah, di Timur pendapa, tiba-tiba Ki Jayengraga mendekap istrinya. Rarasati meronta. Dan semua yang melihatnya tertawa lakah-lakah melihat hal itu.

Seperti mahluk kesetanan, Ki Jayengraga samasekali tak memberi kesempatan pada Rarasati. Bahkan, dengan kasar ia aras payudara Rarasati. Nemun, karena sang istri sedang merah, upaya itu pun tak berlanjut. Sialnya, tiga selirnya pun sama. Berhalangan semua.

“hei, kalian, panggil Senu lekas kemari…,” perintah Ki Jayengraga pada dua pembantunya, Setu dan Kadiman.

Senu adalah ronggeng, penari terkenal di Wanamarta. Tak sedikit lelaki yang mengharapkannya. Bukan untuk memperistrinya, melainkan lebih untuk menikmati tubuhnya, dalam kesenangan lelaki sesaat.

Wus prapta ing rusban kanthil
Ing karsa ragi kasesa,
Cinecep lathi pipine,
Genti ing pangasira,
Jinejer lan Gus Surat,
Senu pinungkurken wau,
Mungkur kumurep pasangnya.
Lumah kurep wus miranti,
Winingkis wastra wus silak,
Tumanduk seg warastrane,
Den-ongkongken angganira,
Mrih dhanganing pamapan,
Anglempet wangkong jinunjung,
Mongkrong mrih thadah pagutan…,
(syair ini pengertiannya sangat kasar dan mesum. Pendek kata, terjadilah persetubuhan antara Ki Jayengraga dengan Senu. Senu sendiri adalah nama dari alat kelamin perempuan…, Serat Centhini, jilid VI, pupuh (asmaradhana) 362: 179-180)

Syekh Amongraga seolah bersyair. “jangan goda kami, agar percintaan ini tidak terjatuh pada kenistaan. Bercampur maksiat…”

“maksiat itu adalah tubuh bagi setan. Karena itu, jikalau diperkenankan ALLAH, jika engkau dan aku sudah menjadi satu, kuharap itu karena niatan yang suci, dan tidak karena bercampurnya setan. Hanya iman yang akan mengawal kita, dari mula hingga akhir. Itu adalah kewajiban kita, dan kita akan ke sana, menuju kematian yang mulia…”

…lah tobata sauripe,
Mupung sira aneng donya,
Zaman kudhi upama,
Myat ing wuri awah gunung,
Arahen ing swarga…,
(…bertobatlah/ketika engkau masih ada di dunia/segala sesuatu dalam hidup/harus diupayakan menuju ke surga…, : Serat Centhini, jilid VI, pupuh (asmaradhana) 362:25)


MALAM KETIGA

Centhini tidak tahu apa yang ada di dalam hati Syekh Amongraga. Lelaki itu teramat pintar menyembunyikan perasaan. Sebelum berangkat tadi, Syekh Amongraga berkata pada Denayu Tambangraras. Riasan itu akan menghalangi ketika sesuci dalam wudhu. Denayu Tambangraras tidak membantahnya.

Memang. Jarak ashar, maghrib, dan juga isya’, hanyalah sebentar saja. Tentu akan merepotkan, jika sebentar-sebentar riasan itu dihapus, untuk berwudhu. Kemudian dikenakan lagi. Berwudhu lagi. Dirias lagi…

Denayu Tambangraras tekun mendengarkan segala ajaran muluk mulia dari suami. Tentang syari’at, tarekat, hakikat, dan makrifat. Hingga subuh fajar, mereka tidak tidur.

Bukankah hanya bergunjing hiburan orang kalah? Tapi, mungkin juga tidak. Setidaknya, Centhini tidak merayakan kekalahan dengan bergunjing. Centhini menyerapnya sendirian. Dalam kesedihan dan kegamangan akan masa depannya sendiri.


MALAM KEEMPAT

Mungkin Centhini tidak bisa membaca bahasa kias. Bahwa ilmu tidak boleh tidur. Bahwa ilmu bukanlah perkara fisik semata. Ini masalah nilai-nilai hidup. Betapapun disampaikan dengan cara yang tidak nalar.

Pikiran Canthini masih sibuk mencari jawaban yang tepat. Adakah Centhini harus katakan sejujurnya, bahwa dia memang sudah merasakan itu? Kebosanan!

Sama mantuk sowang-sowang,
Yata wau ingkang kantun,
Mongraga lan garwanipun,
Malbeng wisma lajeng marang,
Tajug penepen ing pungkur,
Linangse masjide seta,
Awingit simpar asamun,
Sang ro wus tumameng sanggar,
Centhi Centhini tan kantun,
Ki Jayengraga wus mangsuk,
Ing wisma lan ingkang garwa,
Wau ta kang aneng tajug,
Mongraga lan Tambangraras,
Dhaharan sumaos ngayun…,
(Syekh Amongraga dan Tambangraras diserta Centhini, pulang berendeng, melalui rumah dalam, kemudian terus ke tajug di halaman belakang. Makanan sudah tersaji di depan…, : Serat Centhini, jilid VII, pupuh (jurudemung) 375:4-5)

Kesal. Tentu saja kekesalan yang akan terasa. Namun, ketika seorang istri harus patuh, tidak boleh membantah, dan melakoni semua dengan keikhlasan, itukah yang kini sedang dijalani oleh Denayu Tambangraras?

“jika engkau sudah mengetahuinya, maka tutuplah semua itu dengan syari’at, kuncilah dengan tarekat, sangga dengan hakikat yang sentosa, dan junjung dengan makrifat yang luhur…”

Centhini meyakini, Syekh Amongraga adalah seorang yang memiliki pengetahuan luar biasa. Sehingga tak bisa ditampungnya dalam tubuh. Padahal, dari sejak pertama tinggal di Wanamarta, tak seorangpun selain dirinya yang mendapatkan kesempatan lebih banyak. Jika orang lain menginginkan, dan belum tentu selalu terpenuhi, Centhini mendapatkannya semua. Bahkan, sampai yang sebenarnya tak ia inginkan. Yakni, menguping semua pembicaraan Syekh Amongraga dan Denayu Tambangraras.

“ketahuilah, sebenar-benar ibadah, bukanlah yang hanya terucap di lidah, bukan hanya yang terdengar dan berkumandang dalam telinga kita. Jika kita hanya berhenti di situ, maka tiadalah berbeda dengan perilaku hewani. Berapapun banyaknya suara yang kita dengar dari mereka, tiada arti karena sesungguhnya tak kita mengerti. Hanya suara-suara yang menggerakkan bibir dan lidah, tetapi tidak mampu mengisi ronga jiwa kita akan kerinduan kepada Dzat ALLAH. Selebihnya kita akan jatuh pada rasa takabur. Dan semakin jumawa kita karena menganggap semua sudah sempurna adanya. Dan orang lain senantiasa kita anggap berada dibawah dan belakang kita. Ketahuilah, semua itu akan semakin menjauhkan kita dari ALLAH. Dan kita tidak mendapatkan ibadah yang sejati, kecuali gerak-gerik tanpa makna. Tanpa manfaat dunia akhirat. Karena itu, sucikanlah keinginan diri, keinginan atas keluhuran dan kemuliaan…”

Ya, mungkin kita termangu, terpesona, hanya mencinta siapa yang mengatakan dan bukan mencintai apa yang dikatakan. Apalagi kalau memang ada kekuatan isi dari apa yang dikatakannya, maka semakin jalanglah pandangan kita kepada yang mengatakan, dan lagi… makin jauh dari isinya.

0 Opini:

Posting Komentar

silakan komen selama isinya nggak nyangkut SARA atau hal sensitif lain - karena saya sendiri nggak punya pengetahuan-nalar-logika yang mumpuni buat njaga agar nggak keluar jalur.