MALAM KELIMA
Tidak satu pun lamaran yang diterima oleh Denayu. Seperti sudah diceritakan sebelumnya, ia memang mempunyai syarat tertentu untuk calon suami yang bakal diterimanya. Tidak sembarangan. Bukan hanya sekedar tampan dan kaya, ataupun kuasa.
Dan kini, ia telah memilih Syekh Amongraga. Ya, memilih, bukan dipilih. Ia yang jatuh kasmaran. Dan bersedia menjadi istri dari seorang lelaki yang pada mulanya tidak diketahui latar belakangnya.
Yang Centhini ketahui, Syekh Amongraga adalah seorang pengelana. Telah berguru pada puluhan, atau mungkin ratusan kaum ahli dan ulama seantero Jawa ini. Bayangkanlah, betapa jauh jalan yang sudah ditempuh. Mengitari kEratonMajapahit, Blitar, Gamprang, Alas Lodaya, Tuban, Bojonegoro, Las Bagor, Gambirlaya, Gunung Padham, Desa Dandher, Kasanga, Sela, Gubug Merapi, Gunung Prawata, Demak, Gunung Muria, Pekalongan, Gunung Panegaran, Gunung Mandhalawangi, Tanah Pasundan, Bogor, bekas Keraton Pajajaran, Gunung Salak, hingga Karang Ageng di Banten.
Tentu bukan lelaki sembarangan.
Iya karepira ingkang suci,
Iya maha suci jatineka,
Tunggal wujud ing dununge,
Puguting tinggal luhung,
Aneng kono suhuling Widi,
Wadaking agesang,
Yen durung sumurup,
Ing sajatining puji ka,
Kadya nora asih ing uripireki,
Awet dadya paguywan…,
(keinginan yang suci ialah dari niat yang suci pula, satu jua asalnya. Disanalah keluhuran ALLAH. Karena jika hidup belum mengetahui apa arti ibadah, hidup itu terasa kering-kerontang, dan akan menjadi penghalang…, : Serat Centhini, jilid VII, pupuh (dandanggula) 376:51)
MALAM KEENAM
Syekh Amongraga adalah seorang manusia pilihan. Ia bukan hanya santun dan terpuji, melainkan ia seorang yang shalih. Seorang yang berbeda dari kebanyakan orang-orang Wanamarta. Ia lebih menyukai sunyi dan sendiri.menyingkiri keramaian, dan menemukan cahaya Tuhan.
Tidur dengan tertidur berbeda. Centhini tertidur, karena ia memaksakan dirinya untuk mengetahui, atau mendengarkan seluruh pembicaraan Syekh Amongraga dan Tambangraras. Tetapi Centhini tidak kuat melakukannya, karena ia boan dan kemudian mengantuk. Karena menahannya, dan ia tidak kuat, akhirnya tertidur. Beda dengan tidur, yaitu dengan niat engaja untuk melakukannya, tidur.
Centhini adalah belahan jiwa Tambangraras. Ia adalah badan lain dari Tambangraras. Kau adalah si Jiwa yang diminta untuk menjadi saksi dari semuanya ini.
Centhini harus mendengarkan semampunya, karena ia mendapatkan kesempatan untuk mendengarkan semuanya. Dan ikuti kemauannya sendiri. Seandainya dia kemudian mengantuk dan tidak bisa menahannya lagi, maka dia tidak bisa memaksakan diri untuk mendengarkan semua hal, megetahuai semua hal.
Bilapun orang-orang menyalahkan, maka mereka tidak memiliki hak untuk itu.mereka hanya menginginkan pembenaran dari semua yang dipergunjingkan. Hanya itu yang mereka butuhkan. Bukan untuk mendengarkan orang lain, melainkan utnuk memperdengarkan dirinya sendiri.hanya orang yang tidak memiliki jati diri yang selalu meminta orang lain memperhatikan dirinya. Hanya dengan cara itu, mereka merasa ada di dunia ini, jangan sampai Centhini menjadi alat dari semua itu. Ia tidak perlu melaporkan semua yang diketahui kepada orang lain. Apalagi, jika itu hanya akan menjadi penguat bagi bahan pergunjingan mereka.
Soal Syekh Amongraga dan Tambangraras bukan sekedar soal sepasang lelaki dan perempuan yang masuk kamar pengantin, dan sebagaimana para pengantin lainnya.
Ingkang garwa wus praptameng tampi,
Anampeni sasmitaning raka,
Tan cawengah saciptane,
Lir galepung jinuruh,
Pan ingolah nglamat manis,
Mung kurang sadungkapan,
Pan dereng kinukus,
Mateng lawan ginenan,
Tambangraras rarase wus ngrespateni,
Tinungu gama mulya…,
(Tambangraras telah menerima ilmu dari sang suami, dirinya kini bagaikan tepung yang telah diuleni, siap diolah menjadi makanan yang lezat, hanya belum dikukus saja, belum matang, namun betapa ia merasakan, ditunggui oleh ajaran agama yang mulia…, : Serat Centhini, jilid VII, pupuh (dandanggula) 376:99)
MALAM KETUJUH
Usai shalat Isya’, Syekh Amongraga memohon agar para jamaah putri terlebih dahulu meninggalkan masjid. Ia hendak mewejangilmu yang hanya khusus untuk kaum lelaki.
Adakah itu ilmu yang khusus untuk kaum lelaki? Jika demikian, ada jugakah ilmu yang khusus untuk kaum perempuan?
Pada hari menjelang perkawinan Syekh Amongraga dan Tambangraras, Centhini masih ingat obrolan di dapur.
“lha Nyi Supi itu, kalau tidak dapet yang gede, tidak marem.makanya bolak-balik kawin cerai…”
Yang lainmenaggapi, “padahal, tidak semuanya yang bertubuh gede itu punya yang gede jua…”
“malah kebanyakan barangnya kecil…”
“sudah gitu, gampang loyo!”
Dan perempuan-perempuan itu pun tertawa puas.
“jangan lihat laki-laki dari bentuk lahirnya. Yang penting, mau besar mau kecil, bagaimana cara dia memainkan…”
“jadi, sudah berapa lelaki bersamamu…”
“yang jelas, aku tak sudi engan suamimu…”
Ada banyak lelakon dalamkehidupan, yang ajaib dan penuh pesona. Tidak selalu mereka yang miskin kawin dengan yang miskin. Sementara yang kaya hanya boleh dengan yang kaya. Dalam cerita-cerita babad tanah Jawa, banyak kita temui para centhi dikawin oleh bangsawan agung. Bahkan tidak sedikit pula yang diambil garwa padmi alias permaisuri. Tentu, memang lebih banyak yang diambil jadi selir, perempuan simpanan, atau istri gelap.
Jalankan perintah, dan tidak membantah.
Sebaik-baik orang ialah yang menjalankan pengabdiannya dengan tulus. Mengabdi kepada mereka yang telah menjadikan kita berarti.
Apa maksudnya menjadikan kita berarti?
Bagi Centhini, sebagai centhi dari Denayu Tambangraras, itu artinya bukan hanya mendapat keleluasaan di rumah Ki Bayi Panurta, namun bahkan telah menjadi bagian penting dari rumah dan keluarga besar itu.
MALAM KEDELAPAN
Setelah pintu kamar ditutup, Centhini pun hanya tinggal sendirian. Sorot lampu minyak kelapa tak mampu menembus kegelapan malam. Suara shalawat di pendapa makin terasa menggoda.
Beranikah berlari ke pendapa, melihatnya sekejap saja?
Berkali-kali godaan itu menghampiri.
Tapi, sama sekali tak ada keberanian.
Bagaimana kalu tiba-tiba Denayu Tambangraras membutuhkan Centhini? Atau, bagaimana kalau tiba-tiba, apa yang ditunggu-tunggu oleh banyak orang itu datang juga? Kabar tentang robeknya keperawanan Tambangraras itu!
Perlahan Centhini mulai paham.meski belum jelas benar. Tetapi, bagaimana dia bisa mengetahui hal itu, jika tersekat oleh dinding buta?
“dengarkan napasnya, seperti napas kuda yang berlarian kesana-kemari…” Gus Suratin pernah memberitahu.
Centhini membayangkan kuda yang berlari kian-kemari. Tapi, tetap saja tak mengerti bagaimana napasnya. Atau perlukah dia melepas kuda Ki Bayi Panurta dan disuruhnya berlari ke sana-kemari, biar tahu bagaimana napasnya?
“mereka tidak akan bisa mengendalikan diri. Mereka akan lupa di mana tempat dan kapan waktu…” Gus Suratin terus saja memberikan gambaran.
Cerita-cerita yang bertebaran di telinga, dari para perempuan penggosip pun, sama sekali tidak pernah didengarkan oleh Centhini. Itu karena Nyi Supi pernah cerita, anak-anaknya pada terbangun tengah malam, gara-gara amben yang dipakai bergulat dengan suaminya, ambrol. Untung saja gelap, kata Nyi Supi, jadi ia tidak terlalu malu dibuatnya.
Tidak ada napas kuda, yang berlari ke sana-kemari, di situ!
Justru rasanya, napas Centhinilah yang berkejaran. Jantungnya jadi berdetak jauh lebih cepat. Sial. Kenapa?
“kesempurnaan ibadah kita ialah keikhlasan itu sendiri. Apa yang kita pikirkan dan rasakan, tidaklah akan lari kemana-mana, bagai kuda yang berlari ke sana-kemari, tanpa arah dan tujuan…”
Matilah Centhini!
Mengapa Syekh Amongraga mengatakan hal itu, soal kuda yang berlari ke sana-kemari tanpa tujuan itu?
Denayu Tambangraras mengayun dalam tembang dandanggula, penuh rasa kasmaran.
Tambangraras ngaras padeng laki,
Saha sembah umatur ing raka,
Mugyantuka pangestune,
Sih tuwan kang kasuhun,
Kang tumanem ing iman mupti,
Sengsem sumungkem ing tyas,
Kawula tuwajuh,
Ing donya prapteng akerat,
Datan mengeng kang dasih tur pati urip,
Lebure ning padanta…,
(Tambangraras menghaturkan rasa terimakasihnya, dan berharap semoga mendapat restu, hanya kasih sayang Syekh Amongraga yang dipintanya, agar tertanam dalam imannya, bersemayam dalam hati, ia hanya pasrah berharap, dunia akhirat, cinta yang terus hidup dalam hidup dan mati, lebur menjadi satu dalam jiwanya…, : Serat Centhini, jilid VII, pupuh (dandanggula) 376:157)
0 Opini:
Posting Komentar
silakan komen selama isinya nggak nyangkut SARA atau hal sensitif lain - karena saya sendiri nggak punya pengetahuan-nalar-logika yang mumpuni buat njaga agar nggak keluar jalur.