MALAM KESEMBILAN
Orang-orang yang tidak pernah mengerti bagaimana masuk dalam sunyi, dan menghayati kehidupan. Orang yang hanya mengejar keramaian,karena ketidakmampuan merampungkan kegelisahan. Segala macam kemeriahan adalah untuk menutupi kelemahan jiwa dan batinnya.
Biarlah. Aku, kata Centhini dalam hati, adalah murid Syekh Amongraga. Setidaknya murdi kedua. Itupun murid gelap. Karena senantiasa berada diluar, dalam kegelapan. Biarlah, yang penting aku tidak merasakan kegelapan dalam hatiku. Aku bukan manusia yang berada dalam aman kegelapan. Manusia yang tidur dan hanya lelap karena mimpi.
Miwah centhi Centhini adeling,
Kacathetan panjurning wardaya,
Denya myarsakken anungge,
Yata wus gagat bangun,
Sinasmitan sikatan muni,
Mijil mring pawarihan,
Ngambil toya wulu,
Lan garwa kacumbunira,
Wusnya suci Seh Mongraga angimami,
Neng gandok pra wanudyo.
Barung santri samya dan srenti,
Angalikan umyang ing sadesa,
Asri ing saben Subuhe,
Mongraga denya wektu,
Saben Subuh wewacaneki,
Wusing Pakekah surat,
Sujuda asujud,
Kang akir pan surat Kasar,
Dangu degge parestri kang makmum ami,
Karenan tyasna rahab…,
(Lantas Centhini pun tersadar, hari sudah pagi, yang ia dengarkan kemudian, burung-burung pagi, merekapun kemudian ke padasan, mengambil air wudhu, Syekh Amongraga menjadi imam para perempuan di gandok. Adzan subuh terdengar merdu, suaranya serentak dimana-mana, dari desa kedesa, terasa nyaman dan damai pada subuh hari, Syekh Amongraga kemudian membaca surat al-Fathihah,kemudian sujud, surat kedua al-Kautsar, dibaca perlahan, dan para perempuan makmumnya tampak terlihat haru dan bahagia…, : Serat Centhini, jilid VII, pupuh (dandanggula) 376:190-191)
“Assalamu’alaikum…”
Terdengar suara salam Syekh Amongraga, diikuti para makmum yang lain. Buru-buru Centhini selesaikan tahiyat akhir, dan beruluk salam.
Jadi, dari iftitah hingga tahiyat akhir tadi, pikiran Centhini kemana-mana?
MALAM KESEPULUH
Apa yang sebenarnya terjadi dalam tubuh Centhini? Rahasia hidup seolah makin menutup dan gelap. Adakah akan dia habiskan waktunya begitu rupa? Adakah akan dia turut perjalanan ini denganpertanyaan-pertanyaan yang tiada pernah ada jawaban pasti? Baru epuluh hari ini, dia berada dalam perjalanan waktu yang aneh. Dia seolah dilemparkan takdirnya ke negri maya yang asing.
Ah, apa pentingnya dirinya?
Perkawinan menjadi pangkal peristiwa hidup lainnya.
Perkawinan berasal dari hasrat hidup, yang pada pokoknya ialah ingin melestarikan raga dan jenis keturunannya. Hasrat hidup untuk melestarikan raga, menyebabkan manusia memerlukan makan,pakaian, dan pemukiman, itulah yang disebut pangupajiwa.
Sedang hasrat hidup untuk melestarikan keturunan,mendorong manusia perlu bersenggama, yakni kebutuhan perkawinan. Jadi nafkah dan perkawinan ialah kebutuhan hidup.
Syarat pertama perkawinan harus lelaki dengan perempuan.
Kedua, orang dengan orang.
Ketiga, harus sudah sesama dewasa.
Keempat, harus dilakukan oleh orang yang masih hidup.
Syarat kelima, perkawinan harus karena rasa suka sama suka, sebab bila salah satunya tidak suka, atau kedua-duanya tidak suka, perkawinan tentulah hanya menimbulkan bencana. Mungkin saja mampu memberikan keturunan, tetapi keturunan yang seperti apa?
Soal suka tidak suka ini, akan berkait dengan pergaulan, mempengaruhi perkawinan. Namun, dalam pergaulan berahi,orang terpikat oleh orang yang ditatapnya, atau cocok dengan gambar idamannya. Jika seorang gadis hanya bergaul dengan gadis, berahinya akan hinggap pada gadis itu. Jika laki dengan laki, berahi kasihnya akan melekat pada lelaki pula. Ini berahi yang salah tempat.
Berahi yang salah tempat ini menimbulkan perasaan yang aneh-aneh. Hingga bila berahiini berlarut, bisa jadi manusia merindukan hewan, atau lukisan, atau mayat, patung. Berahi seperti ini, semata-mata hanya berdasar kepuasannya sendiri. Ini tidak nalar karena orang yang seperti ini akan menggunakan apa saja untuk memuaskan yang disenanginya. Nafsu ingin puas sendiri, merusak hukum alam. Perkawinan bukanlah dari berahi yang salah, apalagi berahi yang buta.
MALAM KESEBELAS
“ada dua pertanyaanku pada kalian,” Ki penghulu seolah tidak memberi kesempatan Jamal dan Jamil bertanya, “Pertama, bagaimana syarat agar aku bisa memiliki anak? Aku akan menganggap kalian berdua adalah saudara terdekatku, dunia dan akhirat. Tolonglah. Aku benar-benar berharap. Pertanyaan kedua, jangan ditertawakan pula, bagaimana cara memperkuat zakar?”
Jamal dan Jamil kembali saling toleh.
Ki Penghulu Basrodin mempunyai empat orang istri. Bagaimana bisa, kalau satu saja ia tak kuat meladeninya?
“kalau demikian,” kata Jamal perlahan, “tapi jangan tersinggung, Ki, jika boleh sayamemeriksanya?”
Mereka bertiga akhirnya ke tajug di samping rumah besar. Mereka duduk di serambi tajug. Ki Penghulu menurut saja apa yang dikatakan Jamaldan Jamil.
“wah, punya sampean ini, Ki Penghulu, seperti kodok mengeram, besar tapi pendek sekali…” berkata Jamil usai memeriksa. “tak imbang antara ukuran besar dan panjangnya. Ia tak bisa tandas masuk sampai kedalam.”
“kepunyaan Ki Penghulu ini aneh,” kata Jamal yang juga ikut memeriksanya. “seolah hanya ada kepala saja, tanpaleher…”
Ah! Sudahlah!
Ah, berkhayal.
Siapa juga yang hendak melamar Centhini menjadi istri? Hanya seorang cenhi, tidak memberikan harga apa-apa dalam kehidupan.
Jika pun mereka melihat kecantikan, tetap saja seorang centhi. Ia belum dilihat dandinilai sebagai manusia selayaknya. Tidak ada sumbangsihnya kecuali hanya penopang di landasan. Ia bukanlah hal penting untuk diperhitungkan.
Tambangraras yang dikenalnya dulu,sudah tiada. Bahkan, untuk sekedar beberapa jenak mengobrol di dapur pun, rasanya rasanya tidak dalam kuasanya.
Tapi, bisa jadi ini perasaannya saja, setidaknya kecemburuannya,karena telah kehilangan sahabat. Sahabat jiwa. Sahabat yang sama sekali tidak berjarak.
Atau, begitu jugakah ketika masa-masa remaja itu menghilang dalam perkawinan? Dalam rumah tangga? Dalam kuasa laki-laki yang sama seklai tak terbantahkan?
Centhini tidak tahu. Yang dia tahu kemudian, Tambangraras telah menjadi bukan bagian darinya.
Satu pula yang perlahan ia yakini, ia bukan belahan jiwanya, bukan belahan nyawanya.
MALAM KEDUABELAS
Syekh Amongraga seolah menjawab apa yang sedang berputar-putar dalampikiran Centhini.
“rasa rakus akan berolah cinta akan mudah mendatangkan rasa kecewa. Ketika belum terlaksana, orang akan begitu bergairah sekali.berharap akan kepuasan,berusaha secara membabi-buta. Namun, bilamana nafsu berahinya sudah terpenuhi, ia lantas mabuk dan ketagihan.dan bisa jadi, justru yang dialaminya adalah kekecewaaan. Ia menyesal dan kecewa, karena apa yang dialaminya tidak sama dengan yang diinginkan atai didambakan.”
“rasa seperti itu, lebih karena anggapan bahwa rasa bersenggama itu adalah hal berbeda-beda. Dikiranya, kenikmatan bersenggama ada pada pihak lain, idak pada dirinya sendiri. Itu yang menyebabkan rasa jemu,tetapi juga sekaligus ingin. Padahal, rasa itu sama.”
“pada waktu kapan saja, dalam keadaan bagaimanapun, di mana saja, rasa bersenggama itu pastilah sama demikian itu. Apabila orang mengerti hal tersebut, bebaslah ia dari rasa kegelisahannya sendiri. Ia akan bisa melihat rasa gelisah itu terlepas dari dirinya. Ia merasakan bahwa rasa kegelisahan itu bukan keakuannya.”
“kegelisahan itu ada dalam empat tingkat. Yakni, mengetahui rasa, lahirnya hasilnya, dan sebabnya.kegelisahan itu lahirnya karen aketidakpuasan, dan ingin mencari kepuasan, yang pada akhirnya hanya melahirkan rasa tidak teang. Kelahiran rasa itu menjadi kerinduan atau pun justru kebosanan. Jika ia rindu, ia akan berupaya keras agar yang dirindukannya bertemu. Tetapi jika bosan, maka akan diupayakan mencari ganti jodohnya, hingga seluruh dunia akan dipakainya untuk melayani kerinduan dankebosanannya.”
“semua rasa itu, lbih disebabkan karena rasa membedakan rasa. Apabila rasa beda dalamdiri sendiri diteliti, akan dapatlah dimengerti bahwa ternyata diri sendiri belum pernah merasakan itu, sekalipun ia sedang menikmatinya. Orang tidak bisa merasakan rasa bersenggama, karena hanya dipakai sebagai alat untuk menutupi rasa kesepiannya sendiri, atau mencari rangsangan dari pasangan.”
Jadi, pangkal persoalannya ialah rasasepi. Rasa sepi karena perhatian yang tidak terarah dan tanpa tujuan. Maka, jika kita memperhatikan rasa sepi kita itu, dan kemudian mendapatkan esuatu yang dicari oleh rasa sepi itu, apakah yang akan engkau rasakan?”
0 Opini:
Posting Komentar
silakan komen selama isinya nggak nyangkut SARA atau hal sensitif lain - karena saya sendiri nggak punya pengetahuan-nalar-logika yang mumpuni buat njaga agar nggak keluar jalur.