(kemegahan yang hanya tertandingi oleh permaisuri langit)
Yang tercinta:
Diajeng
Bidadariku, engkaulah yang terbaik, dengan pandangan teduhmu maka sejuklah udara disepanjang jalan sejauh mataku memandangmuyang sedang menantikan kedatanganku dimuka pintu rumah kita.
Kau jaga telingamu dari apa yang tidak patut di dengar dengan menterjemahkan pengenalanmu tentang si pemilik lisan bagi dirimu sendiri demi kebersihanmu, sehingga tidak ada sebutan bahwa pendengaranmu adalah sahabat bagi si pembicara.
Bersihnya hidungmu yang selalu berhasil menentukan tebaran wewangian untuk mengharumkan rumah kita yang menyaring busuknya udara bumi.
Kepekaan tanganmu yang begitu halus telah merawat kebersihan kulit dan menjaga kelembutan tubuhmu.
Kelembaban tubuhmu bahkan terasa menghangatkan seisi rumah kita dikala dingin dan menyejukkan dikala panas.
Betapa cermat kadar bumbu cicipan lidahmu.
Aku memandang hingga jauh ke dalam hatimu yang begitu besar, dari sanalah pujian doa untukku berasal.
Kemegahannya begitu menakjubkan, tak akan pernah menyusut kadarnya meski terus kau berikan untukku. Damainya bernaung di peluk tubuh mungilmu.
Belaian tanganku pada rambutmu bahkan meredakan panasnya pikiranku, memadamkan bara api yang menjalari tubuhku.
Lepaslah ikatannya, Dinda, biarkan ia tergerai, biarkan aku menghayati kelembabannya.
Inilah hitam yang tak menyesatkan, inilah warna gelap yang mencerahkan, hanya inilah hitam yang dimaksud sebagai mahkota sang dewi, tidak ada hitam yang telah dianugerahi gelar selain rambut ini, cahaya legam inilah yang menjadi pusat perhatian setiap keberpalingan.
Keindahan pada rambut hitam ini sengaja dijadikan sebagai tirai penutup bagi keindahan lainnya, yaitu keindahan lehermu, yang begitu jenjang dengan semburat kilau sinarnya.
Melalui kejenjangan inilah, maka pujian doa dari hatimu dapat mengalun begitu merdu melagu. Inilah kecantikan yang sebenarnya, hingga ia mesti diselamatkan dari pandangan mata.
Aku begitu kagum memandangi wajahmu yang ayu, kadar yang tepat sebagai sebuah pemandangan yang indah. Keanggunan yang selalu dalam ketertudukkan, meredam angkuhnya dagu.
Letakkanlah kedua tanganmu di meja, duh pengantin wanitaku, lentiknya jemari yang tertata apik dengan warna kuning langsat yang menghias.
Tangan terampil yang terpelihara dari kecerobohan.
Akan tampak indah saat terangkat di hadapan wajahmu yang sedang tertengadah memanjatkan pujian doa.
Tulang pipi yang indah, seakan-akan ia ingin mengatakan padaku bahwa keindahannya diwajahu bukanlah sekedar sebagai penghias belaka.
Tertata apik sebagai lekuk-liku anggunnya kesatuan pandang.
Ia mengatakan bahwa keindahannya mencerminkan keterikatan setiap bagian yang ada di dekatnya – telinga, mata, hidung, dan mulut.
Dijelaskannya lagi bahwa apa yang diuraikan oleh mereka masing-masing tidaklah menjadi sesuatu makna yang terpisah.
Mereka bertanggungjawab satu sama lain, saling erat terkait seperti halnya kelima jari di tangan.
Mereka adalah saksi utama dari setiap gerak dan lisan wanita yang dilekatinya saat kembali pulang ke kampung halamannya di dunia langit.
Mereka tidak berdiri sendiri atas kepentingannya masing-masing untuk menjelaskan apa yang mereka terima, karena mengemban kesadaran dan tanggung-jawab si wanita terhadap pengetahuan langit.
Begitulah tulang pipimu menjabarkan makna dibalik keberadaannya di sana.
Kecantikan alami semacam inilah yang membuat iblis menanam kebencian dan iri kepada Adam, karena ia memiliki Hawa.
Bahkan iblis tak mempunyai keberanian untuk menyentuh Hawa, karena ia sedemikian mengaguminya, begitu mendambakan Hawa agar tetap terjaga dalam kehormatannya.
Iblis telah lalai dalam mempertahankan pasangan dari jenisnya sendiri bermain sebagai kesenangan semata bahkan telah memperkosanya.
Sementara iapun tak pernah berhasil untuk memahami apa yang mendorong perilakunya tetap berbuat tanpa pengetahuan. Tidak menyadari semesta nafsu hingga syahwatnya.
Yang tetap tertinggal padanya hingga saat ini adalah keterkagumannya pada Hawa yang tidak pernah berakhir.
Hingga ia siap dibakar oleh api neraka bersama pertanyaan yang tak pernah terjawab mengenai rasa, dan ia tidak sendiri.
Dinda, masih dapat kita hitung seberapa banyak aku mengatakan bahwa aku menyayangimu, tidak sebanyak cerita-cerita roman yang mengumbar sebaris kalimat yang menyatakan hangatnya kebersamaan itu.
Aku tidak iri dengan kekuranganku dalam hal ini, karena aku paham bahwa engkaulah yang bisa merasakan perbedaan antara aku dengan mereka, antara hati dan pikiran.
Sisi baik yang paling utama dan sangat berharga adalah tersingkapnya pengakuanku terhadap diri sendiri yang ternyata terlalu cengeng, tangisanku hanya akan mereda bila engkalah yang datang untuk menghentikan rengekanku.
Bahkan lelaki seangkuh diriku masih membutuhkan belaian lebut tanganmu, lelaki dengan ketetapan hati yang kuat ini dapat luluh oleh halusnya usapan telapak tanganmu, kejalangan nafsu lelaki ini dapai dicengkeram oleh genggaman mungil tanganmu.
Hal yang paling aku sukai saat ada di dekatmu adalah mengecup keningmu, tepat di batas antara dahi dan rambutmu, karena dari sanalah aku dapat merasakan kasih sayang dan keakraban yang teramat sangat luar biasa.
Saat itulah matamu akan terpejam, dan syahwat akan menyadari bahwa keberadaannya hanya sementara hingga menangis memohon maaf kepadamu karena pernah memenuhi diriku saat mencumbumu.
Atau di saat aku mendekap erat tubuhmu, penyerahan hidup kepada manusia adalah sangat rentan terahadap ancaman kerusakan.
Tubuhku tak mungkin hancur oleh perilakumu dan tak akan aku berlaku aniaya terhadapmu seringan apapun, karena inilah makna dari kata sayang yang sesungguhnya, kehilangan tubuh dan diri yang sempurna hanyalah dengan peleburan suci atas ruh dan jiwa.
Pipi yang bersemu merah, tubuh mungil dengan kulit halus yang menyelimuti dan tatap mata yang memastikan ketulusan lisan serta senyuman yang menyatakan keramahan perilaku.
Aku tidak sedang melihat diriku di dalammu atau tidak sedang memburu seutuh penuh keindahan wanita yang ada di hadapanku, akantetapi aku melihat sebuah rasa yang ada di dalam diriku tercitrakan pada satu wujud elok di luar diriku.
Sempat terlintas tentang bagaimana seandainya ada mahluk jahat yang mengagumi dirinya sendiri, bagaimana bentuk perasaannya bila terwujudkan, dan apakah dia sendiri berani untuk sekedar menatap pada penampakan tersebut?
Dindaku, betapa cantiknya dirimu dan bertambahlah keanggunannya dikarenakan sifat yang melekat.
Duh aku merindukanmu dan makin enggan menuliskan apa yang terlintas di benak, karena aku hanya menginginkan kau ada di sini.
Aku tersenyum saat mengingat perkataanmu tentang keharuman ruang kamarmu.
Bukannya aku mengejek, yang simpulkan dari hal itu adalah bahwa kau berusaha untuk menutupi kerinduan yang teramat sangat.
Apalagi kau mengetahui bahwa dalam waktu dekat aku akan kembali pulang, karena itulah kau coba untuk menggoda aku.
Sudahlah, tak perlu lagi kau tutupi keadaanmu sementara kau pahami bahwa aku mesti sudah tahu itu. Dimanapun aku singgah, selama ada dirimu pasti ada tebaran aroma yang harum semacam itu.
Kau memang tak bermaksud memancingku dan tak pernah berhasil, tapi meski begitu aku tetap ingin tahu wangi apa lagi yang ingin kau jelaskan kepadaku.
Dan ternyata wewangian itu memang menyenangkan, terasa nyaman saat aku masuki kamarmu, wangi itu menjadi nilai tambah selain bersih dan rapihnya ruangan itu.
Tapi pastinya akan selalu ada kekurangan senyaman apapun ruang itu, untukku, pertama secangkir kopi dan yang kedua adalah melepaskan rasa rindu untuk merangkum sekian banyak waktu yang terisi dengan keterpisahan dan kesendirian.
Di setiap awal pertemuan inilah yang terus berulang aku ingin kembalikan lagi sebagaimana perjumpaan pertama, seperti memasuki sebuah dunia yang baru kita kenal. Sebagaimana biasa, perasaan malau dan sungkan kau tutupi dengan senyum keceriaan dan serangkaian kalimat yang menyejukkan, juga dekapan serta genggaman yang begitu akrab.
Perilaku, lisan dan gerakmu yang seperti inilah yang tak mungkin mengundang kejenuhanku, berperan sebagai diriku sendiri. Selalu ada kebanggaan dari keadaan ini, kebahagiaan saat masih diberikan kesempatan untuk menyatakan rasa saling memiliki.
Kau kenali dengan baik sifatku, tidak tersinggung dengan tidak adanya kata-kata pujian yang kau harapkan keluar dari mulutku. Kau kenali aku sebagai pribadi yang mempunyai sikap tanpa perlu berpanjang lisan karena memang hal itu tidaklah berarti banyak, bahkan bisa jadi tidak mewakili samasekali.
Di salah satu sisi ruangan pada kursi tempat aku duduk, pandanganku menerawang ke setiap sudut ruangnya sebagaimana pelaminan yang anggun sekali. Kemudian aku menyandarkan kepalaku dan merebahkan badanku di kuri panjang merah itu.
Seperti biasa, kaupun mengerti bahwa dadaku sedia menyambut kepalamu untuk bersandar di atasnya, dan demikianlah yang kau lakukan kemudian.
Dari situ aku dapat dengan leluasa mengecup kening serta membelai rambutmu.
Sedikit membutuhkan waktu untuk kembali menyadari bahwa ramuan terpenting dari aroma wewangian yag semerbak menebar di ruangan itu berasal dari tubuhmu.
Minyaknya yang memercik seiring detak jantungmu, seakan-akan tiap penjuru urat nadinya adalah tabung penyimpanan minyak wangi yang dianugerahkan untuk hidupmu, selama rentang waktu sejauh hamparan ruang keberadaanmu.
Kau adalah penguasa yang tidak mempunyai singasana melainkan pikiranku, permaisuri yang tidak mempunyai istana melainkan hatiku, penakluk yang enggan bertahta melainkan pada kesadaranku.
Wilayahmu adalah sejauh tawa ceriamu tersiarkan rakyatmu terbangun dari simpati atas keramahanmu.pedang kepastian kau sematkan pada seulas senyum.
Seberat apapun, keberadaanmu adalah hukuman, sutau cara untuk menebus atau menghempas sesuatu kebeurukan di dalam diriku, beban terindah buat aku, manusia lelaki yang mengadili syahwat untuk menundukkan diri pada aturan, sedangkan ketiadaanmu akan menjadi kebebasan yang menyakitkan, terlalu banyak dendam, terlalu dalam sakit hati, terlalu melelahkan penderitaan.
Kau adalah penawar, mata air yang bertujuan, samudera terbelah yang mengakhiri kisah Fir’aun yang makin jauh tersesat. Kemegahan puncak gunung yang pernah disaksikan Musa, dia sedang melihat wujud sedangkan aku memandang suatu citra yang menghancurkan kebodohanku.
Kau miliki lebih dari satu sudut pandang sebagai wanita, engkaulah Hawa, engkaulah Maryam, engkaulah Khadijah, bahkan engkaulah puing-puing kehormatan wanita. Aku akan membangunnya, karena Khidirpun membangun rumah sebagai pelindung harta terpendam, hingga suatu saat yang tepat. Aku akan senantiasa menyimpan erat kunci gudang perbendaharaan Qarun.
Kau adalah banjir amarah yang dilalui oleh Nuh sang nahkoda hidup baru, samudera yang diselami oleh Yunus ketika menyadari khasanah berharga yang terpendam di dalam sebuah ketundukan. Seperti Isa, meski yang kau bangkitkan hanya sekedar keyakinanku dari matinya.
Gurun tandusnya Ibrahim ketika berjalan bersama Ismail dengan ditingkahi segala tipu-daya iblis, semangat Ilyas terhadap cinta yang menghempas daya tarik si penari telanjang yang cantik. Bahasa Sulaiman yang menterjemahkan kebijaksanaan alam semesta.
Penghuni gua di hatiku yag tertidur hingga kehidupan yang akan datang. Kau hancurkan karang di hatiku laksana tangan Dzulkarnain yang menempa besi. Laksana Luth meninggalkan wilayah maksiat di belakangnya dan takkan menoleh ke belakang punggungnya.
Kau adalah mutiara di dasar laut yang terdalam, wanita yang menghias kehidupan para utusan. Pokok pikiran yang selalu tersentuh ajang perdebatan menuju lurusnya keyakinan, namun kau tetap berdiri setangguh Raja Daud dengan kekuatannya.
Santun, ceria, bersih, harum, dan beradab. Bagaimana para tabi’ien membicarakan hal-hal ini selain kembali pada kerendahan lagi. Aku lelaki dan mereka lelaki, bedanya mereka ingin masyhur sedang aku menginginkan dirimu.
Sambutlah tanganku sebagaimana Aisyah terhadap junjungan yang mulia, bila tubuhku bergetar disaat menyatakan persaksian, maka kasih-sayangku adalah nyata adanya. Dan suami-isteri telah ditetapkan, itulah dasar keluarga, tinggal separuh keimanan lagi yang mesti kita ungkap agar sempurna kepastiannya.
Semulianya keluarga adalah Imran, pelajaran sederhana yang kudapat adalah mereka terdiri dari lelaki dan perempuan. Kau adalah sebagian syarat dan aku adalah separuh lainnya, petiklah pelajaran tentang kemuliaan dari mereka meski belum tentu kita mampu laksanakan.
Namun, seutama langkah awal adalah jejak pertama menuju akhlak terpuji, maka bentuklah keluarga bersamaku.
Dinda, memang terlalu tinggi, jauh, dan lancang aku memberikan perumpamaan, tapi bukan sebagai rajukan kosong.
Semua adalah karena kerinduanku atas sosok mereka yang dijunjung sebagai utusan, dan meski dengan perimbangan yang tak sebanding, aku melihat akhlak itu padamu, ditengah kerusakan hidup… kau wanita shalehah.
(Mas-mu)
0 Opini:
Posting Komentar
silakan komen selama isinya nggak nyangkut SARA atau hal sensitif lain - karena saya sendiri nggak punya pengetahuan-nalar-logika yang mumpuni buat njaga agar nggak keluar jalur.