Minggu, 22 Agustus 2010

(sinopsis) Ting

Kemudian aku perhatikan wanitaku sedang mengumpulkan berhalanya yang sudah hancur berkeping-keping, air matanya menetes ketika memandangku tapi tersenyum sambil menyampaikan rasa terima kasihnya kepadaku karena telah membuatnya mengerti tentang makna keberadaan berhala itu.
Ketenangannya mendorongku untuk mendekat dan membantunya mengumpulkan kepingan yang berserak disepanjang halaman menuju rumahnya. Dia menjelaskan maksud dan tujuannya mengumpulkan kepingan itu kepadaku, agar aku juga dapat merasakan keadaan yang kurang lebih serupa dengan apa yang sedang dia alami.
Aku sendirilah yang melumpuhkan naluri hewan di dalam diriku, hingga bersujud ia kepadaku yang manusia, dengan itu maka kusebut wanita ini sebagai penghulunya para bidadari, permaisuri istana langit.
“kami percaya Tuhan yang satu, tidak ada selain dia, dan itulah warisan kami satu-satunya dari orang tua kami yang paling berharga untuk kami jaga. Buku yang kau tunjukan hanyalah sebuah karangan belaka tentang sejarah leluhur kami. Jangan terlalu berlebihan dengan bacaan setebal itu, jalani saja maka ringanlah yang kau rasakan”, demikianlah batas pengetahuan mereka, tiada bukti yang tersisa bagi mereka, hanyalah sekedar adat kebiasaan turun-temurun.
Jika manusia menempati derajat tertinggi, jika manusia disebut sebagai mahluk yang paling sempurna diantara yang lain, maka rahim adalah kemuliaan.
Ketika dia mengajakku ke meja peresmian, aku pun menterjemahkannya ke dalam persaksian. Sesaat setelah kalimat itu kuucapkan, aku takjub memandangi cahaya di sekeliling kami.
Kilaunya keluar dari tangan yang sedang menerima jabatku,
mempelai wanitaku pun menangis haru menyadari bahwa dialah semesta tafsir yang disampaikan Tuhan kepadaku… aku bersyukur dengan restu itu.
Kekasih langit telah mangkat, lambat laun setelahnya kerajaan hancur diluluhlantakan oleh segala sesuatu yang berlebihan, wilayahnya terpecah oleh keterbatasan. Kemudian dari semuanya yang tersisa hanyalah berupa puing-puing, reruntuhan yang menjadi debu namun masih terasa kemegahannya kala tertiup angin gurun.
Butuh waktu yang agak lama memang untuk dapat mencabut pondasi langit yang mengakar kuat pada bumi, namun akhirnya tetap dapat dicabut, kini sisa reruntuhan yang masih dapat digunakan telah menjadi sebuah bangunan sebentuk benteng dengan kubah yang begitu kokoh untuk menahan serangan ababil.
Mereka tahu bahwa tak ada yang lebih dahsyat daripada hal itu, dan tak akan ada lagi kejaiban yang sangup mengidikkan bulu kuduk.
Dan kini aku sedang berbincang dengan sang citra langit itu, ia adalah mahluk yang oleh karena sifat dasarnya yang tercermin pada sikap-perilaku serta lisannya, maka disebut sebagai wanita.
Pertemuan kedua air kotor itu mesti disucikan, mereka telah melalui benang merahnya antara syarat dan syahwat, tuntaskanlah ia dengan kelahiran wahai wanita, penuhilah kehidupannya wahai pria, bantu ketundukannya olehmu sekalian, hingga suatu saat lunturlah nista yang pernah melekat, nafsu yang diberkati.
Duh puteri mungil yang ayu, akulah sang manusia, aku pria yang angkuh karena pengetahuanku tentang ruh, tapi selama ini tubuh masih kuemban demi kesempurnaan bathin, dan dikarenakan rindu-dendamku pada pengembalian maka aku tergesa.
Inilah nafsu itu, kukenali sebagai hasrat untuk menerima gadis ini sebagai yang satu-satunya di dalam dada dan pikiranku untuk mendandani hari-hariku, untuk merawat waktuku. Dinda sang isteri tersayang, gadis cantik dari kampung langit.
“lalu, apakah mereka?”, pernah suatu kali isteriku bertanya demikian.
“perempuan di luar dan selain dirimu?”, aku menyimpulkan sambil bertanya demi kepastian jawabanku nantinya, “aku mencarinya pada mata, menerkanya dengn telinga, menyiarkan dengan lidah, mendekat dengan penciuman, meraba mereka dengan telapak tanganku ketika indera yang lainnya kututup secara bergantian”.
Tapi, semua yang kukenali itu gugur di medan kemunafikan yang jauh dari aroma surga, kenyataan pahit dari cerobohnya indera.
Kemudian kututup semua celah dan sisa mahluk, pusat perhatian kutujukan pada hati saja yang kini sedang dalam gendong-susuannya sang wanita. Kulihat Dinda si puteri langit sedang menunjuk kampung halamannya bagi bumiku, dan berkata, “lihat, hati telah pasti dewasa dan tetap hidupnya, kemudian dibangunnya istana kita”.
Dan semua akan mempertanyakan tentang bagaimana perihal anak itu, dan dialah – anak kamilah yang suatu saat yang telah ditetapkan nanti akan menjawab pertanyaan mereka, yang mungkin pada saat itupun sudah banyak dari mereka yang sedang menjelang ajalnya dengan sebungkah gunjingan tua yang tak terjawab ketika kembali meninggalkan bumi.
Kami butuh kehadiran hati kalian pada saat yang demikian itu, cobalah rasakan kejap kesadaran itu – dari terbukanya kelopak mata hati, jangan katupkan lagi meski hanya sebentar – perayaan bagi kalian yang mencintai ALLAH, persaksian ini diangkat sebagai rayuan yang membuat-NYA berkenan palingkan wajah kepada kita.
Maka datang, penuhilah undangan yang kami bagikan dengan hawa keikhlasan, ikatan bathin inilah yang dirindukan seumur hidup mahluk, yang hanya diturunkan pada ruang-waktu ini saja, belum pernah dan tidak akan ada lagi.
Aku berkata, “Dinda, lihatlah, semuanya telah kembali, kita tidak dikenali di dataran mana adam dan hawa pun merasa terasing, kita telah sampai pada gerbang kampung halamanmu”
“peluk eratlah diriku dan iringilah langkahku, duh suamiku. Tubuhku bergetar karena takut”, tanggap isteriku.
“akupun demikian, tetaplah begitu dan jagalah rasa itu, karena kita sedang menghadap pada Raja dari segala Raja, Dinda”
“apakah ruh?”, tanya isteriku suatu saat.
Aku malah bangga dengan pertanyaan yang sedemikian itu, meskipun diajukan dengan tiba-tiba ataupun yang muncul secara kebetulan, “sadar akan keberadaan”, jawabku singkat.
“apakah jiwa?”, lanjutnya.
Inginnya berdiam dalam waktu yang lama, merenungi keadaan sang isteri yang dirundung firasat-mimpi, merumuskan sejauh gejala itu telah menetapi dirinya sehingga membuatnya bangga dengan kelebihannya, maka kukatakan, “aku bukan seorang yang suka bermain dengan menerka firasat, senyata apa pun. Namun, aku lebih sebagai pembaca gejala, dan tanda yang hidup”
Aku menarik nafas panjang, dan meraih kepala isteriku untuk membelai halus kening dan matanya yang indah. Kemudian dia meraih tanganku dengan kedua tangannya, dan menyampaikannya di kepalanya bergerak ke arah pipinya, untuk kemudian di kecupnya tanganku, namun dalam keadaan tertunduk yang tak kumengerti.
“setelah kepergianmu, percayalah bahwa aku akan merindukanmu. Namun sedikitpun aku tidak menantikan dan menerima kepulanganmu setelah kuketahui bahwa engkau telah melewati suatu kejadian bumi, apalagi terhadap selainmu, tentu sangat mudah aku menolak mereka”
Bila memang tidak ada daya tarik yang menggugah seleramu, hal itu dikarenakan kerapuhan batasan kita manusia, tapi janganlah kau ragukan kasih yang menetapkan kecintaanmu terhadapku.
Biarlah benih yang ada padamu tumbuh diantara kita, karena ia tertanam disana oleh pertemuan rasa yang benar dan tumbuh karena restu yang kita cari telah ditetapkan untuk kita terima.
Sang wanita tersinggung dengan jawabanku yang menjelaskan adanya pihak ketiga, kembali ia mempertanyakan hal itu, “mengapa kau berlaku seperti itu, hingga kau tempatkan aku tidak sebagai yang pertama, ketika kau sedemikian mendua lagi membelakangiku maka cemburu adalah hak bagiku yang beralasan terhadapmu”.
Sudah menjadi kewajibanku mengumpulkan perbekalan langit yang terpancar ke delapan penjuru mata angin, akibat semburat cahaya Ilahiah yang memancar ke bumi, terus memungut hingga tiba di muka gerbang waktu yang telah dibuka bagiku untuk menetapi hidup bersama bekal itu.
“Dinda, jangan katakan apapun saat engkau sedang dalam keadaan gembira, jangan katakan apapun saat engkau sedang bersedih, jangan pula disaat bimbang-ragu, apalagi disaat amarah”
“ya”
Inilah luka goresan langit yang menganga, mesti kujaga dari bumi yang selalu menutupi lukanya dengan lumpur hitam. Maka kuserahkan kesembuhan ini dalam perawatan sang benih langit, si penghulunya para bidadari.
Ditengah gelombang kebanggaan, tubuh ini bergetar dan hatinya akan menghancurkan kuasa dan daya sombongku.
Airmataku mematahkan lengkungan senyum iblis, panas telinga, dataran bibir, sembap mata dan kembangan hidung menyempurnakan raut keharuan.
Aku tersenyum melihat matanya yang bulat memburu bentuk dari kalimatku, sebentar lepas sebentar terpicing, mungkin aku pun dapat terlihat bodoh begitu rupa, dan aku ingin tertawa.
Namun lebih baik bagiku untuk memeluknya saja dengan dekapan yang erat setelah lama kurindukan jiwanya untuk pulang kembali ke tubuhnya.
Bukit pasir di gurun yang kami tempati, kini sudah dipenuhi dengan rerumputan ilalang, aliran sungai membelah kebun hutan.
Sejuknya udara yang menyegarkan makin membangkitkan selera percintaan kami, diiringi dengan lagu berkisah tentang dunia langit.
Jerit dan lompatan rusa mengundang para hewan, nyanyian bulbul dan tarian sayapnya memancing buah dan mekar bebungaan, gemericik aliran sungai mengarahkan ikan dan binatang air lainnya untuk berenang ke sini.
Dengan gagah, kerendahan hati menikam jantung kesombongan yang licik, dalam keadaan saling berhadapan.
Kemudian kukatakan, “Dinda, hanya engkaulah yang merajut kalimat itu dengan jarum hati dan benang jantung. Semoga rasa hormatku akan terus mengisi ruang-waktumu, kunyatakan demikianlah keberadaanmu, yang nyata djadikan demi dan atas namaku’.
“aku bersimpuh, siap mendengarkan penjabaranmu tentang semesta ruh dan jiwa dengan kalimat kehidupanmu. Nina-bobokanlah hati yang dalam gendong susuanku ini, wahai ruh pengisi tubuh pria yang karenanya ia mengenali jiwaku”.
Dia wanita, maka dia rapuh. Tapi aku waspada dengan kalimat itu karena setelah kerapuhan akan ada sebuah benteng pertahanan yang teramat besar yang pasukannya cukup untuk menggulung lebih dari separuh dataran bumi yang didiami oleh para mahluk.
Tidak demikian halnya dengan lelaki yang hanya mampu membuat benteng bagi dirinya sendiri dengan banyak kebohongan besar. Mereka lebih banyak menjual impian, meski dapat merusak banyak tubuh tapi tidak menghancurkan.
Berbagai suara yang memenuhi malam sejenak berhenti, hening. Para pemiliknya memberikan waktu bagi urai jawaban isteriku, agar terdengar hingga ke seluruh negeri.
“akankah nanti engkau berharap ada wanita lain yang juga sebagai isteri, wahai suamiku?”
“tidak Dindaku, cukuplah engkau sebagai hawa yang mendampingi aku”.
Aku membuatkan selubung langit bagi kami berdua, tak ada rahasia langit yang kami terjemahkan keluar dari selubung itu. Dalam remang cahaya kamar pengantin kami selimuti tubuh telanjang kami dengan selembar kain sutera berwarna merah terang untuk menghalau birahi dari mencampuri kami, birahi yang semerah api gentar terhadap warnanya sendiri, dia memiliki tempat di dalam fitnah.
Seperti pemukiman yang makmur karena pendapatannya dari hasil panen yang baik, yang hanya didapat dari ladang yang terpelihara dengan baik.
Tanah yang gembur yang jauh dari tandus, pasir berhumus yang bukan dari bibit gurun, dikelilingi bebatuan yang disinggahi oleh aliran air yang tak membiarkannya menjadi padas.
Kesuburannya tentu mempengaruhi keberadaanku, hasil yang baik – tertata apik, rapih, teratur – tentu mencerminkan sikap perhatian si pemilik. Aku memeliharanya hingga dia memberikan hasil terbaik.
Aku mengelolanya dengan baik dan dia merawat kesehatanku dengan kebaikannya sebagai ladang yang membaguskan tubuh petani.
Dari manapun arahku menuju ladangku, tujuanku adalah hanya bercocok tanam, atau sekedar mengagumi pemandangannya yang apik sambil membersihkan pematangnya dari tetumbuhan rumput atau tanaman perusak, agar jelas batasnya untuk tidak dilanggar.
“engkaulah yang kuketahui mengisi banyak lembar dari buku langitku, Dinda”
“aku mencintaimu”
“kau ungkapkan siapa dirimu”
Tidak ada yang lezat dari buah yang mentah, dan tak ada kenyamanan pada aroma bunga yang hambar. Meski ada diantaranya yang tidak dapat dinikmati dalam keadaan matang sekalipun, dan ada pula bunga yang beraroma busuk atau terlalu menusuk, tapi tetap ada gejala dan tanda, tetap akan ada pembeda
Tapi ingatlah, karena ada diantara para mahluk yang mengarahkan langkahnya dan meninggalkan jejak menuju api pembakaran
“tanda? Apa maksudnya, suamiku?”
“…noktah sinar mata yang mencerminkan hati dimana sang raja berpuas dirongganya, wadah untuk ruh”
“pintu gerbang telah dibukakan, mari kuperkenalkan engkau kepada para penghuni istana kita”
“inilah aku, demikianlah adanya”
“dan bila kemegahan itu telah kuceritakan”
“kita akan kembali ke bumi dimana kewajiban mesti diselesaikan”
Sebelum percumbuan, sempat kurasakan angin yang menerpa salah satu sisi tirai kain itu sehingga sedikit tersingkap dan seharusnya cukup untuk dapat mengetahui ruangan semacam apa yang ada di balik tirai tersebut, tapi tak ada bentuk apapun yang tampak. Bayangan yang ada di luar sana hanya terang yang ada.
“akan selalu kupersiapkan malam pertama kita, duh suamiku terkasih”, padahal aku belum sempat menyampaikan apa yang ingin kukatakan.
“kemana lagi Dinda yang engkau ingin kita berada di sana?”
“mari, marilah saja kita sirami airmatamu dengan air bumi lainnya yang sudah kusediakan. Marilah kita pergi mandi, bermain air bersamaku, wahai engkau yang sebaiknya terhibur”
“tapi jangan alihkan sedihku dengan kesenangan, Dinda. Rasa malu kini malah memenuhiku”
“bukankah kukatakan bahwa aku ingin bermain, kalau pun engkau ingat hal itu, maka janganlah berbuat apapun untuk melampiaskan kenakalanmu itu, hai pria yang dalam susahnya mencari hiburan – aduh engkau mudahnya tergoda”
Dia tidak menoleh sedikitpun dengan tubuhnya yang cenderung condong ke depan berusaha menarik berat tubuhku yang ingin kembali kurebahkan. Aduh, lucu sekali kedua tubuh yang tak lagi kecil ini akan bermain air sebagaimana mumayiz.
“kau tak mengenali diri dan hatimu, mendekatlah kepadaku saat dusta mengendalikanmu, berbuatlah menurut perintah iblis, dekaplah erat hingga tak ada jarak diantara tubuh kita agar dapat kucabut jantung-hatimu yang sudah membusuk, dan kulempar sebagai makanan binatang bumi”
“sedemikian kuatkah kamu? Tidakkah kau akan malu?”
“aku hanya akan malu bila terjebak dalam permainan si iblis laknat. Ketakutanku hanyalah kepada Sang Raja Penguasa langit dan bumi serta semua yang berada diantara keduanya”
“apakah besok kau akan mulai menghindariku?”
“tidak, aku merasa terancam oleh iblis yang bersarang dihatimu. Setelah kubuang jantung-hatimu barulah kutinggalkan engkau”
Tapi dia wanita, manusia dengan saripati pengetahuan dari gunung yang disinggahinya, rahasia yang mesti diungkap demi keselamatan bumi hingga langit. Tafsir berkerudung yang hanya boleh disingkap oleh pengantin prianya, atau – dia tunjukkan sendiri seutuhnya bagi sang pria.
“dapatkah sarang iblis kembali bersih sebagai hati?”
“hiduplah bersamaku, sebagai suami. Maka akan kau ketahui bahwa iblis tidak pernah bersarang di hati”
Hujan berhenti sebentar, sepertinya para mahluk senang mendengarkan kalimat isteriku ini.
“bukankah kau pernah katakan bahwa kau telah meraba naskah langit, satu persatu telah kau terjemahkan dan terkumpul untuk kau baca kembali? Aku memperhatikan itu dan kau benar, suamiku terkasih”
Hujan telah berhenti, awan hitam masih tersisa menipis. Ah, tidak – di Barat Laut sana masih tebal menggumpal tapi cahaya matahari lebih kuat menembus, membuat celah dengan panasnya dan mulai memisahkan gumpalan itu. Terpisah, menipis dan tak berarti.
“tetamu yang mungkin datang untuk singgah akan mengira kita sedang bepergian”
“kita memang akan berangkat ke kampung halamanmu”
“aduh, baiklah. Kini kuserahkan waktu dan udara, sebentar kurapikan ruang dan memasak air”
“dan segeralah tanggalkan pakaian”
“senyumlah terlebih dahulu, aku rindu kenakalanmu”
“aku menantikan genitmu”
Ah, ketika melihatnya aku tahu bahwa Sang Raja memberi keindahan itu tidaklah sebagai bunganya tidur, mataku terbuka, hatiku bergetar, pikirku takjub, dialah yang indah... dia yang ada menjadi pusat perhatianku dalam keadaan sadar sepenuhnya, saat kelopak mataku benar-benar terbuka, bayangan serupa pendar cahaya yang muncul ketika tertutupnya mataku, dan Dindaku adalah nyata.
Tidak berarti bahwa ketika kami menjauh kemudian dia menjadi terhapus, tidak juga ketika kami berdekatan kemudian Sang Raja menjadi terlupakan. Segala sifat menjadi lebih mudah untuk dikenali, lebih meyakinkan untuk terus mendapatkan perhatian dariku, segala nama terangkum kedalam sebutan ‘pujaan hati’, terwujud sebagai sebuah citra – sosok sang wanita.
“bukalah, dendangkanlah pujian langitmu, Dinda”
“kau seperti pasir, bisa jadi menggumpal bersama yang lain, dan membentuk jeram pada air yang mengalir. Atau melekat dipinggir bersama yang lain, menebal dan membentuk kelok arah saat air mengalir. Atau terus sebagai butiran, bersama arus mengenali perjalanan dan menemui setiap benda hingga akhirnya tenggelam pada samudera. Semesta pengetahuan yang ada padamu membuat Sang Penguasa melirikmu, dan memberikanmu tempat disuatu bagian dalam kerang. Dengan kecintaan Sang Penguasa terhadapmu maka sudah menjadi kewajiban bagi kerang untuk mempercantik dirimu sebagai khasanah tersembunyi.... mutiara”
“lalu dimanakah dirimu?”
“aku adalah lumut yang menandai usia keberadaanmu”
“bagaimana dengan mimbar bukit kita, Dinda?”
“ia adalah tempat dimana kita meninggalkan jejak, hidup kita terpancar sebagai wujud tanaman mawar abadi. Segala keindahan warna, keharuman bunga, dan manisnya nektar adalah tanda keberadaan kita yang dijadikan sebagai pernyataaan”
Dia, sang wanita yang selalu anggun dalam benteng ketundukannya membuatku selalu mencintainya, selalu jatuh cinta kepada wanita yang sama yang merupakan citra langit ini. Kecantikannyalah yang membuatku selalu merindukannya, membuatku takjub akan kesempurnaan surgawi.
Isteriku menuju perapian untuk memasak air, mengatur pengapian baranya hingga mendapat panas yang cukup agar siap kami pakai bersiram selepas percumbuan.

0 Opini:

Posting Komentar

silakan komen selama isinya nggak nyangkut SARA atau hal sensitif lain - karena saya sendiri nggak punya pengetahuan-nalar-logika yang mumpuni buat njaga agar nggak keluar jalur.