MALAM KETUJUHBELAS
Apakah perkawinan hanya soal pakai-memakai? Jika demikian halnya, bolehkah perempuan juga memakai lelaki, sebagaimana lelaki memakai perempuan? Tidak hanya lelaki yang selalu menjadi pemakai, dan selalu mendudukan perempuan sebagai pakaian, sesuatu yang dipakai.apa yang terjadi jika perempuan boleh berlaku sama dengan lelaki, bertukar tempat agar bisa saling memakai, dan tidak hanya sebagai barang yang dipakai. Apa yang bakal terjadi kemudian jika sekiranya hal itu terjadi?
Tapi bagaimanasesungguhnya yang terjadi? Dari mana Centhini biamendapatkan pengetahuan mengenai hal itu?
Apa yang terjadi di nggandok dan di dapur, tentu saja sama sekali berbeda. Para perempuan di nggandok adalah para perempuan yang halus budi bahasanya. Para perempuan yang lembut dan harum tutur katanya. Tidak sebagaimana perempuan di dapur yang terbiasa cuwawakan, bukan hanya berkata keras dan kasar, melainkan juga jorok.
“yayi Tambangraras, Adindaku sayang…” Centhini mendengarkan suara Syekh Amongraga memanggil istrinya. Suara yang lembut dan terasa penuh kasih sayang. “apakah yang kau mengerti kemudian, jika kita masing-masing telanjang, tanpa suatu apa pun yang menghalanginya?”
“kehormatan, keningratan, sering justru membuat kita mengenakan pakaian berupa ketidakjujuran dan ketidaktulusan…” Centhini mendengar kini kata Denayu.
“ketika kita bertelanjang diri, menaggalkan semuapakaian ketidakjujuran dan ketidak tulusan itu, akan tampaklah, bahwa kita sama sekali tidak memiliki kehormatan itu. Jadi, mereka yang sibuk membentengi dirinya, ialah justru karena meletakkan kekurangannya sebagai aib. Kekurangan bukanlah sesuatu yang mendorong kita mencari agar dilebihkan, tetapi menutupinya agar tidak terlihat. Orang seperti itu, tidak berani bertelanjang diri, polos, dan jujur apa adanya, karena ia takut kekurangannya akan membuat dirinya tercemarkan…”
MALAM KEDELAPANBELAS
Dari kelakuan para suami mereka, hubungan suami-istri, atau juga hubungan suami mereka dengan istri orang lain atau perempuan lainnya lagi. Dan yang tak pernah ketinggalan, mereka juga akan berbusa-busa saling cerita, bagaimana suami mereka bermain di atas ranjang. Jika sudah sampai pada pembicaraan itu, suasana akan menjadi lebih meriah, satu sama lain saling mengejek, dengan kata-kata yang jorok, ditingkahi dengan ketawa yang meledak-ledak.
Betapa terasa sejuknya di dalam jiwa Centhini. Inikah rasanya, jiwa yang tersiram oleh air keberkahan. Kata-kata bijak seorang aulia sebagaimana Syekh Amongraga itu, selalu meneduhkan, menentramkan.
Centhini berharap, Syekh Amongraga teringat ceritanya yang terputus dulu, soal Syekh Wali Lanang itu. Atau jika tidak, betapa Centhini ingin bagaimana ia ngungrum (menyanyikan tembang Jawa yang penuh dengan syair-syair rayuan dari seorang lelaki kepada perempuan) tembang asmaradhana atau sinom, dengan suara yang lembut, merayu dengan kata-kata yang memabukkan.
Itukah ciri-wanci seorang lelaki yang diinginkan, sebagaimana ditanyakan oleh Sumbaling? Perlahan, Centhini mengerti dan kini merasamampu menjawab pertanyaan itu.
MALAM KESEMBILANBELAS
Manusia terdiri atas jiwa dan raga. Raga adalah bagian manusia yang kasat mata, terlihat, dan teraba. Sedngkan jiwa ialah bagian manusia yang tidak terlihat tetapi terasa.
Jiwa-raga yang hidup, itu satu adanya. Bukti paling dekat tentang jiwa dan raga hidup, kita hanya bisa mengetahui dan mengatakan bahwa manusia itu ada, terlihat, dan teraba, karena jiwa kita ada. Jiwa kita mengatakan bahwa manusia itu ada dan teraba keberadaannya. Ketika kita mengatakan keberadaan manusia, sebenarnya itulah perkatan dari jiwa kita yang terdiri ataspancaindra, rasa hati, dan pengertian. Jika jiwa itu tiada, atau mati, kita tidak dapat mengakui dan merasakan keberadaan raga.
Manusia hidup memiliki pancaindera, dengan jiwa berpancaindra itu, kita bisa mengatakan raga itu nyata ada. Namun untuk merasakan keberadaannya itu, jiwa kita juga memerlukan adanya rasa hati. Dari rasa itulah kita memberikan tanggapan tentang keberadaan segala sesuatu. Dan barulah kemudian, di situ jiwa memerlukan pengertian untuk menentukan apakah suatu hal itu berasal dari pancaindra atau dari perasaan hati.
Penilaian-penilaian akan hal itu akan menjadi semakin rumit, ketika pengertian yang muncul dari mempertanyakan segala sesuatu, asal-usul, sebab-musabab, sehingga seolah menjadi tidak sederhana, karena tidak ada jawaban yang memuaskan.
Karenanya, tidak ada rumusan yang bakumengenai manusia, karena setiap manusia itu memiliki kepribadiannya yang khas, yang satu sama lainnya berbeda-beda. Namun, sebagaimana kesatuan hidup manusia, antara jiwa dan raga dalam tubuh kita, kehidupan juga merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan dan berpengaruh.
MALAM KEDUAPULUH
“manusia memiliki alat yang tidak kasat mata, ialah yang pekerjaannya mencatat,” berkata Syekh Amongraga kepadakami semua. Jamaah masih lengkap, dan mereka khusyuk mendengarkannya. “dengan apa semuanya itu dilakukan?”
“pikiran yang kita pakai untuk berpikir, hati kita yang untuk merasakan, itulah alat kita untuk mencatat. Pekerjaan itu dilakukan sejak lahir hingga mati. Sebelum lahir, belum mencatat, dan sesudah mati, pekerjaan mencatat itu pun berhenti”.
“bagaimana jika catatan itu salah?”
Sejatining ALLAH iku siji,
Kang mengkoni ana lawan ora,
Sadurunge sauwise,
Sepala segala gung,
Kapurba kawiseseng siji,
Sijining anaoran,
Durung lawan sampun,
Epalalawan segala,
Yeku yayi sijining isbat lan napi,
Datan napi tan isbat.
Apan ora durung nora uwis,
Nora sepalan nora segala,
Tan ana tan ora reke,
Tan suwung datan mujud,
Liring roro-roning asiji,
Siji-siji belaka,
Tan kurang tan wuwuh,
Roroning napi lan isbat,
Ya roroning Rasul lan Muhammad yekti,
Roroning esti-priya.
Nir karoning jenenging jalwestri,
Ilang araning napilan isbat,
Miwah lan sapapadhane,
Roronig tunggal iku,
Apn tunggal dadi sawiji,
Wiji siji amencar,
Aken tumuwuh,
Kang kagepok kang katingal,
Iku saking purnaning ro maring siji,
Siji ALLAH tangala.
Siji iku tan isbat lan napi,
Datan kandha warna ambu rasa,
Tan arah tan enggon angeng,
Pesti kawasanipun,
Anglimputi tur Maha Sukci,
Amurba amisesa,
Maring ro puniku,
Liring ro kun payakun-nya,
Siji dhewe-dhewe pribadi,
Yeku yayi jatinya.
Dening jatine lanang sajati,
Yeku Rasul rasa ingkang mulya,
Sukmaning roh iku Niken,
Pan nurbuwahing enur,
Nur Muhammad ingkang ginusti,
Tan asum marang ora,
Latip jatinipun,
Yeku napi tanpa isbat,
Lagi ekun durung kapindho sih suci,
Rasul jatining lanang.
Ana dene sejatining estri,
Yeku Muhammad ingkang minulya,
Muhammad insaniahe,
Nugraha kang linuhung,
Nugrahaning urip puniki,
Tanasub maring ana,
Kaannanireku,
Yeku isbat tanpa napya,
Pan payakun wus kapindho sihining Widi,
Yeku jatining kenya.
(ALLAH yang sejati, ialah yang ada dan tiada/sebelum dan sesudahnya/segala yang sedikit dan berlebih/kekuasaannya tunggal/segalanya disebutnya/belum dan sudah/kecil ataupun besar/yaitu bersatunya isbat dan nafi/tiada nafi tanpa isbat/egala yang tiada berawal/dan tiada berakhir/tiada yang kosong tiada yang isi/tiada ada yang tiada kosong/tiada tak ada dan tiada berwujud/demikianlah keduanya satu/satu-sarunya belaka/tiada kurang tiada lebih/keduanya nafi dan isbat/dialah bersatunya Rasul dan Muhammad menyatu/bagaikan kedua lelaki dan perempuan/tiada yang bernama laki dan perempuan/hilang sebutan nafi dan isbat/semuanya adalah sama/kedua-duanya satu/melebur dan menyatu/dan kemudian kan menyebar/kan segala yang akan tumbuh/segala yang disentuh dan terlihat/itu karena kesempurnaan yang dua dalam satu/satu ALLAH Ta’ala/satu itu bukanlah isbat atau nafi/tiada mengisyaratkan warna dan bau/tiada menuju arah dan tempat/namun pasti di mana/meliputi semuanya Yang Maha Suci/berwenang dan berkuasa/hanya dengan kun-fayakun/ialah ia satu-satunya/yakni ia yang tunggal/sedangkan yang disebut lelaki sebenarnya/ialah yang mulia Rasul/sukma sejati bernama ruh/cahaya dari segala cahaya/cahaya Muhammad atas nama ALLAH/tiada dua dan terbagi/suci adanya/ialah yang pertama nafi dan isbat/kemudian kedua kasih-sayang dan suci/ itulah Rasul sebagai lelaki yang sejati/adapun perempuan yang sejati/ialah Muhammad yang mulia/Muhammad sebagai manusia insaniah/mukjizat yang mulia/mukjizat kehidupan itu/merasuk dalam tiada/yang demikian itu/ialah isbat tanpa nafi/kun-fayakun karena berkah ALLAH/itulah perempuan sejati. : Serat Centhini, jilid VII, pupuh (dandanggula) 383:225-230)
0 Opini:
Posting Komentar
silakan komen selama isinya nggak nyangkut SARA atau hal sensitif lain - karena saya sendiri nggak punya pengetahuan-nalar-logika yang mumpuni buat njaga agar nggak keluar jalur.