Senin, 07 Maret 2011

Malam ke 33-40 (Terakhir)

MALAM KETIGAPULUHTIGA

Enjingipun kang winarui,
Bakda subuh kawit anambutkardi,
Nutugaken ingkang durung,
Tebeng kori lempitnya,
Myang gedhongan kokoh lan ambengipun,
Nambal jrambah kang dhinungkar,
Ing saka pinester malih.

Sadaya kang bibal-bibal,
Tinambalan apan pinulih malih,
Ginebleg gangsur sinapu,
Ginarit jojobinan,
Miwah kowek-kowek tilas ngowak labur,
Wus sinalin rinesikan,
Kanan kering saking wuri…,
(pagi harinya/sehabis shalat subuh pekerjaan pun dilanjutkan/menyelesaikan yang belum sempurna/daun pintu/dinding dan tempat tidur/menambal bantal (yang) kemarin dibongkar/(untuk memasang tiang) diplester kembali/semuanya yang rusak atau lecet/ditambal kembali agar halus/sebagaimana awal mulanya/dari kanan kiri, depan hingga belakang…, : Serat Centhini, jilid VII, pupuh (pangkur) 382:109-110)

Tetapi di Wanamarta, kehidupan agama itu berdampingan dengan kebiasaan-kebiasaan penduduk sebagai orang Desa Wanamarta. Seperti sudah Centhini ceritakan sebelumnya kepadamu, kehidupan keseharian mereka dipenuhi oleh banyak kesukaan.


MALAM KETIGAPULUHEMPAT

Wismanira Ki Seh Amongraga,
Uwus purna salirira dadya,
Tan kanti pendhak dinane,
Mung kawan dinten rampung,
Wus tan ana labetin kardi,
Sinaponan sumilak,
Tan katara lamun,
Pagriyan anyar kinarya,
Kitri-kitri tan ngalum-alumi,
Lajeng sekar mardapa…,
(rumah Syekh Amongraga pun/usai sudah pengerjaannya/begitu cepatnya selesai/hanya empat hari/sudah tak ada lagi yang dikerjakan/halaman sudah disapu bersih/tiada kelihatan (bahwa)/itu adalah rumah (yang) baru/tetumbuhan terlihat begitu segar/dan bebungaan bermekaran…, : serat Centhini, jilid VII, pupuh (dandanggula) 383:1)


MALAM KETIGAPULUHLIMA

Apan saben enjing sajegneki,
Wong sadesa pisan Wanamarta,
Kang dadi kabungahane,
Anggertak dara mabur,
Sru ngangngan sawangan muni,
Kang jodhon kang bayakan,
Samya muluk-muluk,
Keniplokan-kineplokan,
Lamun nuju peksi pradangga mimiling,
Darane byar anglarap.

Salang tiyup mawut denya wiwrin,
Ambyar ora mawur asasaran,
Arebut dhucung udhunya,
Ana nilap mandhuwur,
Bebes ambles katon sabibis,
Cat kaksi uga ilang,
Memet nyamut-nyamut,
Kan duwe dara asuka,
Miwah lamun kang dara nuju pinendir,
Ing peksi alap-alap.

Atilapan wat-wet angindhani,
Wong sadesa swarane gumerah,
Samya alok lere-lere,
Yen muput nilap mudhun,
Dara mencok baguponeki,
Kang duwe bungah-bungah,
Den-kudang lir sunu,
Pan mangkana wong sadesa,
Saben enjing apan wus dadya kamuktin,
Anglawataken dara.

Lamun sonten wanci Asar akhir,
Kabungahanira ngundha-undha,
Layangan glathik emprite,
Jeprah panjer amuluk,
Barung umyung mawi sendari,
Angereng kapawanan,
Dadya srining dhusun,
Awor swaraning kitiran,
Sarta unining gamelan angrenganing,
Suraking rare dolan.

Myang (m) bengingehing kuda sarenti,
Kapyarsa ring pepating desa,
Lamat-lamat gong unine,
Ngayut-ayut karungu,
Dhasar munggul ketep kang kitri,
Ambada swabawanya,
De-sarja geng kubuk,
Senenning dhusun apraja,
Wong amanca samya anebut nagari,
Kerajan Wanamarta…,”
(tiap pagi hari sedari kini/orang-orang desa Wanamarta/mendapatkan kegembiraannya/menyeru merpati (agar) terbang/bersamaan dengan bunyi sawangan/baik merpati sepasangan ataupun merpati (untuk) adu tinggi/beterbangan tinggi di awan/riuh tepuk tangan/ketika berpapasan dengan (burung) lainnya/merpati-merpati itu bagai tiarap//saling mendahului selamatkan diri/hingga berpencaran kemana-mana/berebut cepat mereka turun/ada juga yang (justru) terbang meninggi/mengepakkan sayap bagai belibis/kadang terlihat kadang menghilang/bagai noktah samar/betapa gembira si empunya (merpati)/apalagi ketika burung merpati diburu/burung alap-alap//merpati berseliweran menghindar/orang-orang pun bersorak-sorai/kegirangan suka-cita/ketika (merpati) bersicepat turun/menuju ke sangkarnya/si empunya (merpati) begitu gembira/bagai anak kecil/demikianlah orang-orang sedesa/sepanjang pagi telah menjadi kesukaan/bermain (mengadu terbang) burung merpati//sementara sepanjang sore sehabis Ashar/kegembiraan mereka berganti (menaikan layang-layang burung glathik ataupun emprit/beradu burung jeprah panjer/atau bermain gasingan/berdengungan suaranya/menjadikan suasana (desa yang) damai/(apalagi) bercampur suarabaling-baling berputaran/suara gamelan mendayu/sorak sorai anak-anak bermain//suara ringkik kuda/terdengar di perempatan desa/lamat-lamat terdengar merdu/menyayat sembilu/apalagi di tengah subur pepohonan/betapa sempurna semuanya/kebahagiaan yang berlimpah/suasana desa yang/orang-orang luar menyebutnya/demikianlah DesaWanamarta…, : Serat Centhini, jilid VII, pupuh (dandanggula) 383:7-11)

Semua orang kini menunggu jawaban Syekh Amongraga.

“perlu mengerti, sebab segala sesuatu bisa sebagai penanda, agar benar-benar tak terombang ambingkan keraguan. Di situlah perlunya mengetahui bibit-kawit ilmu yang sepuluh itu…”

Berbicaralah Syekh Amongraga tentang: syahadat, kehidupan, kematian, keimanan, mampu memahami semua hal, amal salih, keutamaan, shalat, surga, neraka.

Kyai Bayi angandiko aris,
Ikut padha rasakna prayoga,
Urip kudu wruh uwite,
Ana geyonganipun,
Sengga jala wus pupusneki,
Ahliya pira-pira,
Anggeyong puniku,
Sadaya kang aneng ngarsa,
Amya matur nuwun kasinggihan ugi,
Pratikele agesang…,
(Ki Bayi berkata perlahan-lahan/dengarkanlah itu baik-baik/hidup haruslah (dengan) berpengetahuan/ia akan menjadi pegangan/sebagai jalan menjaring angin/setinggi apapun pengetahuanmu/peganglah itu/(dan) ekalian yang ada di situ/mengamini apa yang dikatakan/sebagai jalan kehidupan…, : Serat Centhini, jilid VII, pupuh (dandanggula) 383:34)



MALAM KETIGAPULUHENAM

Demikianlah, maka seusai shalat tahajjud dan doa malam yang panjang, Syekh Amongraga pun berkata, “dindaku, ketahuilah kiranya, manusia hidup di dunia ini haruslah mengerti dari mana berasal. Sebagaimana sabda Rasulullah, barang siapa yang mengerti sejatinya pribadi, prasasat seolah ia mengerti ALLAH.”

“adapun yang bernma lelaki dan perempuan, ialah sepasang rahasia yang harus dibukakan dengan cinta. Dari sana kau akan mengerti, karena sebgian diri kita ada dalam diri orang itu, kita tiada pasti dimana kiranya, namun yakinilah karena itu pasti adanya. Kau tekuni segala yang rahasia itu, dalam masa prihatin empat puluh hari, kau kan juga mengerti gaibnya perkawinan.”

“kau lihat samudera lepas pada malam hari. Serasa gelap, segelapnya gelap. Namun sesungguhnya, itu adalah kegelapan kalbu. Maka kegelapan itu kan kau tempuh dalam empat puluh hari kemudian, untuk sampai pada terang-benderangnya kehidupan. Sekalipun masih samar, kadang gulita kadang benderang, itulah rahasia alam yang mesti disingkapkan.”
“dan dalam tiga kali empat puluh hari lagi, kau akan semakin mengerti, rahasia gaib kehidupan…”




“enam kali dari empat puluh hari nanti, akan jelas lebih terlihat bentuk dan rupanya…”


“hingga tujuh kali empat puluh hari, alam insan kamil akan sempurna…”




“karena tiada kejaiban dan kebetulan. Rahasia hari demi hari, sesungguhnya telah dipersiapkannya, sadar ataukah tidak. Bayangkanlah kiranya, di dalam gua garba rahim sang ibu itu, yang bernama ponang jabang bayi, ditunggui oleh 1993 malaikat, hingga ia turun ke alam dunia.”


(selengkapnya uraian Syekh Amongraga inii bisa dilihat dalam Serat Centhini, jilid VII, khususnya pupuh (dandanggula) 383:86-106)

Tambangraras myarsa sabdeng laki,
Lir pinantek tyasira santosa,
Pratistheng kawruh pepesthen,
Tan kalempit salulut,
Kecap-ucap kecakup kapti,
Matur saha wotsekar,
Ngraup padeng kakung,
Mugi saestu antuka,
Berkah tuwan wijajah kojah mengeti,
Sung padhang ing ngamamak.
Datan nedya amemengeng angling,
Yata ing wektunira ijabah,
Pajar gidib antarane,
Swara bawaning bangun,
Ganter puter benggala muni,
Prekutut munya raras,
Anduduk kelayu,
Kikering kate bekisar,
Kolik akik lan tutuhu amelingi,
Gumyah keluruk samya.
Sang Mong luhung angandika aris,
Babo yayai mring patirtan kadas,
Mumpung awal utamane,
Dyah tan lengganeng kayun,
Lan kucumbu cethi Centhini,
Tan tebih neng wurinya,
Samya met toyastu,
Ti riwusira kadang,
Seh Mongraga adan swara sawatawis,
Arum ulem kemandhang…,
(Tambangraras mengerti (apa yang dikatakan) sang laki/bagai dipanthek hatinya kini/emakain memahami kepastian hidup/tiada atu tertinggal/sekali ucap segala tercakup/berkata dengan penuh keindahan/berharap mendapatkan berkah (dari) ang laki/semoga benar-benar ia dapatkan/berkah dari semua yang diujarkan/menjadi terang benderang di dalam kalbu/demikianlah waktupun berguliran/sekarang waktunya ijabah/fajar subuh diantaranya/suara-suara pagi/segala kekicauan burung-burung/sang perkutut indah bernyanyi/menyedot ulu hati/lengkingan ayam bekisar/burung hantu dan tuhu-tuhu/begitu meriahnya emua itu/Syekh Amongraga berkata perlahan/ayolah Dinda ke padusan berwudhu/menyegerakan itu utama/Tambangraras pun mengikut sang suami/dan Centhini sang pembantu/tak pernah jauh berada di belakangnya/merekapun kemudian (mengambil air) berwudhu/kemudian merekapun berangkat (ke mesjid)/Syekh amongraga pun kumandangkan adzan/dengan suaranya terdengar indah berkumandang…, : Serat Centhini, jilid VII, pupuh (dandanggula) 383:107-109)


MALAM KETIGAPULUHTUJUH

“ibu, jika ibu tanyakan hal itu kepada saya,” Denayu menjawab perlahan, “yang bisa saya jawab, bahwa hal itu sama sekali belum terjadi…”

Denayu berhenti sejenak. Dan para perempuan itu pun saling pandang, dengan mata penuh pertanyaan.

“siang malam, Syekh Amongraga mewejang ilmu keutamaan hidup,” Denayu kemudian meneruskan.

“dan siang malam pula, saya yang bodoh ini merasakan, betapa saya menjadi lebih nyaman dan bahagia dalam menjalani keseharian saya. Syekh Amongraga, sungguhlah seorang manuisa utama. Hingga yang saya rasakan kemudian, bagaikan kenyang tanpamakan, bgaikan mereka yang bahagia, meski tanpa merasakan kenikmatan dunia. Itulah sempurnanya ilmu, dunia akhirat. Mulia dalam keluhuran, luhur dalam kemuliaan. Karena dengan demikian, saya mendapatkan berkah, mendapatkan ilmu yang sejati, tumbuh dalam sanubari. Yang kedua, ibu, saya samasekali belum mengerti, apa yang ibu tanyakan tentang hubungan lelaki dan perempuan. Entahlah, karena belum terbuka hati ataukah karena perkara lain. Perasaan hati saya, sebagaimana mula-kala, tiada yang berbeda…”

Nyi Malarsih menatap Denayu tanpa kata. Ia menghela napas. Seolah ada perasaan kecewa di sana.

Seh Mongraga jumeneng anganti,
Ngling payo yayai tumameng wisma,
Sarwi kinanti astane,
Centhini tanseng pungkur,
Prapteng dalem kalihan linggih,
Kang dhadharan tinata,
Malih aneng ngayun,
Patehan sampun jiningan,
Mring Centhini Seh Mongraga ngendhika ris,
Yayi sira tanya-a.

Paran dira takokaken yayai,
Yen kang kalempit driyanta,
Takoknengsun kalirake,
Kang rayi nembah matur,
Inggih lamun tuwan lilani,
Kawula nuwun wulang,
Ing sajatosipun kang wuwus wau punika,
Iman tokit makrifat Islam punapi,
Wonten sajatinira…,
(Syekh Amongraga berdiri, menggandeng (tangan istrinya)/(dan berkata) ayo beristirahat di dalam rumah/ambil menggandeng tangan istri/Centhini senantiasa berada tak jauh dari mereka/(hingga kemudian) sampailah mereka di dalam rumah (kemudian) duduk berhadapan) segala bentuk makanan sudah tersajikan/di depan mereka pula/sehala minuman sudah tersaji (yang baru)/kepada Centhini Syekh Amongraga berkata perlahan/Dinda, bertanyalah engkau apa kiranya?/apa sajalah (coba) kau tanyakan barangkali ada yang aku terlupa/ingatkan segera (jika ada sesuatu yang menjadi pikiran)/Tambangraras bertanya sambil menyembah/sekiranya tuan izinkan/ajarilah hamba pengetahuan/tentang kesejatian dari apa yang terjadi/bagaimana dengan iman bagi tauhid, makrifat, dan Islam itu sendiri/adakah yang sejati…, : Serat Centhini, jiid VII, pupuh (dandanggula) 383:210-211)

Cinareman patembayaning sih,
Lir cempaka wungkul sinadpada,
Prapteng mangsa sakalihe,
Linungidan bremara,
Mangungrum ing tanjung,
Tambangraras katetesan,
Tyasira tis angesrhi jatining ngelmi,
Minulyeng rasa purba.

Kapurbeng laki purbaning Widi,
Rekaseng rasa ngesah swuh ikram,
Trah bengat satariyahe,
Dyah sanalika kantu,
Lena neng pakulinan mupid,
Raseng tyas amertiga,
Rong duman mring ngelmu,
Sadunan rasaning priya,
Mepu Hyang maring dating Kang Maha Suksi,
Tan ura panduman…,
(bercampurnya rasa kasih/bagaikan bunga cempaka yang tumbuh/(hingga) sampailah masa keduanya/(bagai) bunga bermekaran/dibuai pendaman hati/ditingkah gelora asmara/merona diatas tanjung/Tambangraras (pun bagai) terkena tetesan/(di) hatinya (tentang) ilmu yang sejati/dimuliakan oleh rasa purba/dalam buaian cinta sang laki, sebagaimana buaian sang pencipta/terasa begitu rupa rasa/sebagaimana yang diharapkan lama/Tambangraras tak sabar/mabuk dalam lupa/rasa hati yang melayang/mendapatkan sekaligus ialah rasa cinta yang berdegup/bagaikan diterbangkan oleh Dzat Maha Suci/rasa yang tiada kan terbagikan…, : Serat Centhini, jilid VII, pupuh (dandanggula) 383:240-241)



MALAM KETIGAPULUHDELAPAN

Beruntung, karena Centhini melihat Syekh Amongraga sedang berjalan ke arah padusan, menuntun sang istri, yang berjalan begitu lambannya. Aku merasa tak perlu khawatir, jika pun terlambat mengikuti jamaah subuh, karena Syekh Amongraga pun baru mau berwudhu.

Berwudhu? Rasanya tidak. Centhini melihat Syekh Amongraga dan Denayu tidak menuju ke padasan. Mereka melangkah ke arah sumur. Tapi apakah Denayu sakit? Kenapa pula jalannya tertatih begitu rupa, kadang juga kakinya seolah sulit digerakkan?

“Centhini, kemarilah,” Syekh Amongraga agaknya mengetahui kedatangan Centhini. “bantu Denayumu…”

Denayu membawa kain jarit.

Centhini merasa yakin dengan dugaannya, gopoh dia mengetuk pintu kamar Nyi Malarsih yang membuka pintu disusul Ki Bayi di belakangnya.

Centhini menceritakan apa saja yang ida lihat.

“benarkah? Syukur alhamdulillah,”

“bangunkan bibi Daya. Cepat…”

Ni Mbok Daya pun jadi gupuh pula menyambut Centhini, maka gemparlah ndalem Panurtan, kabar itupun segera menyebar. Apalagi itu menyangkut Syekh Amongraga dan Denayu Tambangraras.

Rasanya hanya mereka berdua yang mendapat perhatian warga penuh-penuh.

Tambangraras wus pinagud ing sih,
Tinembayan atut palakrama,
Mangsaboronga adate,
Sarat katresnan ing rum,
Mugi bibi priyangga prapti,
Mangetan sung ajampya,
Wring wayah kawlasayun,
Ni Daya aris ngandika,
Lamun pareng prayogi kewala enjing,
Wus adating enjang…,”
(Tambangraras telah terenggut keperawanannya/sebagaimana hubungan suami-istri/terserahlah (pada Ni Daya) adat kebiasaan (mengurusnya)/penuh kasih sayang dalam cinta/segeralah bibi temui/(ke rumah Tambangraras) tuk berikan jejamuan/pada cucu semata/Ni Mbok Daya perlahan berkata/jika diperkenankan pagi ini segera ke sana/sebagaimana adat kebiasaan…,// : Serat Centhini, jilid VII, pupuh (dandanggula) 383:246)

Di Timur matahri, sinarnya terasa hangat. Suara burung-burung cecrowetan memenuhi kalbu. Burung tekukur mengangguk-anggukan kepalanya. Seolah penuh keramahan menyambut pagi. 

Sementara, burung dara jantan mulai gatal menggoda pasangannya. Belum pula burung beo serta perkutut manggung. Suaranya sendu seolazh membetot sukma. Rasanya mereka semua bergembira, bahwa Denayu Tambangraras telah sempurnalah menjadi istri. Sementara burung jalak dan cucak-rawa, begitu cerewetnya bercerita pada sembarang orang yang mendekatinya.

Lihatlah, burung bethet itu seolah mencandai pasangannya, menyindir-nyindir karena jual mahal. Sementara burung derkuku jantan, penuh bujuk rayu kepada sang betina, seolah berkata, “lihatlah, bendaramu Tambangraras telah merasakan nikmatnya perkawinan…” dan derkuku betina pura-pura kesal karena sang jantan terus mendesak ke pojokan sangkar.

Di lain tempat, burung tuhu-tuhu sibuk mondar-mandir, mewartakan berita gembira itu. Burung hantu merasa terganggu dalam persembuynian, “dasar burung tak tahu aturan. Tak adakah cara lain, bergembira dalam dian?”

Ni Mbok Daya sudah sibuk dengan pekerjaannya. Ia meramu jejamuan untuk Deanayu, kapulaga, cengkeh, batu kecubung, bunga selasih, semua dicampur dan digerus lembut. Selasih hitam dicampur empon-empon, daun sirih dan temu giring, kemudian airnya dituang ke bathok kelapa.

Belum lagi aneka tapel dan pilis (obat-obatan herbal Jawa, yang biasanya dipakai dengan cara dioleskan ke seluruh badan (tapel), ataupun ditempelkan ke kening (pilis)).

Termangu di ruang tengah, lamat Centhini dengar Syekh Amongraga. Mewejang sabdajati, nasihat kemuliaan pada sang istri.

“Dindaku, Tambangraras,” pelan suara Syekh Amongraga terdengar. “sebesar-besar godaan iblis, ia bersembunyi pada dua tempat. Ia yang berdiam dalam syahwat, dan dalam sekarat…”

“Dinda, Dindaku Tambangraras. Maka, di dalam tidur sekalipun, ingatlah akan ALLAH. Di dalam syahwat dan sekaratpun, ingatlah akan ALLAH…”

“maka berkhalwatlah…”



MALAM KETIGAPULUHSEMBILAN

“demikian hendaknya Yayi, Adinda tercintaku. Hakikat kehidupan yang utama, ialah empat perkara yang mesti engkau ingat…”

Tapi bila kau penasaran soal mengintip sang pengantin itu, Centhini memberi sedikit bocoran. Agar kau tak kehilangan keindahannya, dikutip saja sepenuhnya, dalam syair tembang mijil. Cobalah, kau baca sambil berdendang.

Bakda denya panggusthining ilmi,
Minulyeng karongron,
Satengahe sanggameng gatine,
Pan winulang ngilmi rasa jati,
Tibaning purbeng sih,
Tan pecat lan ngelmu.
Suhul ing asmaragama neggih,
Limang prakareng (ng)gon,
Ingkang dhihin asmaragayogane,
Pangalaping panggawe rasweki,
Saking tulang sulbi, Adam sakayun.
Ping kalih asmaranala nenggih,
Pangalapaning raos,
Saking tyas kang suci pawiyose,
Kaping tri asmaratantra nenggih,
Pangalaping rasweki,
Saking rupaning hyun.

Ping catur asmarajuwita di,
Pangalaping raos,
Saking sadayanipun asline,
Kaping lima asmaratura di,
Pangalapireki,
Saking roh rasweku.

Patemone Hyang Kang Maha Sukci,
Raswane roh kono,
Dadya Rasulollah keh juluke,
Patemone rasul maring sulbi,
Patemoning sulbi,
Apan maring sungsum.

Patemoning sungsum apan maring,
Balung maring otot,
Patemoning maring getih,
Petemoning getih maring daging,
Patemoning daging,
Wujud ngilmu Enur…”
(usai wejangan ilmu/keduanya tampak bahagia/di tengah persenggamaan yang penuh/disertai ujaran ilmu sejati/begitulah kuasa cinta/tiada putus dari ilmu.//tata cara dalam senggama/ada lima jenisnya/yang pertama samarayoga/ialah pembuat nikmat tubuh/dari tulang rusuk/Adam pada mula kala.//yang kedua, asmaranala/muncul dari hati yang suci/sedang ketiga, asmaratantra/memuja kenikmatan/dari kecantikan rupa.//keempat asmarajuwita/berpengharap pada rasa/dari segala yang sejati/sedang kelima, asmaratuna/ia memuja/atas ruh kesejatian.//(bertemu) Hyang Maha Suci/melahirkan (yang bernama) Rasulullah/(beranak-pinak) bertemunya Rasul dan rusuk/bertemunya rusuk/dengan sungsum.//bertemunya sungsum dengan/tulang dan urat/bertemunya urat dengan darah/darah dengan daging/daging dengan daging/berwujud ilmu Nur Ilahi…,: Serat Centhini, jilid VII, pupuh (dandanggula) 384:52-57)


MALAM TERAKHIR

Sareng myarsa dyah sabdaning laki,
Sumapotkang panon,
Lir aktujweng ela pranajane,
Dadya bawur paningalireki,
Anglir den lolosi,
Sang dyah tulangipun.

Lir pinusus bayu mring wiyati,
Sungsung balung otot,
Sirna kabeh pesat ing anggane,
Menggah-menggah aturireng laki,
Dhuh panutan-mami,
Seksenana ulun.

Datang mantra-mantra yen angimpi,
Malih ing pandulon,
Amba anut tuwan separane,
Ajur kumur-kumura ing margi,
Tan sedya gumingsir,
Nadyan tekeng lampus.

Trenyuh myarsa Ki Seh Amongragi,
Myat kang garwa ngepon,
Ang dyah luluh prasetya atine,
Seh Amongraga angandika aris,
Astanira arwi,




Yayai den-kapareng mami,

Myarsakna ling-ingong,
Den-narima den-waspada Niken,
Andang pira tyasira kaempit,
Sira lawan mami,
Mami lan Hyang Agung.

Sira datan andulu ing kami,
Wus sinung pandulon,
Mring Hyang Kang Maha Sukci Niken,
Dadya sira tan pae lan mami,
Mulyaning dat jati,
Tar wang-wang sawegung.

Krana kabeh iku sajabaning,
Edating Hyang Manon,
Yeku makhluk yayai sadayane,
Tinggal nilib panggodhaning eblis,
Ambles aneng kapti,
Kapiteng tyas dudu.

Teguhena yayi tyasireki,
Dating Hyang aneng jro,
Jinemira kasuciyanane,
Umpamane angganira yayi,
Wastra lus seta di,
Cinitreng jalengut.

Wit winasis rengrengan respati,
Trusane tan dhompo,
Rapet datan nilib tembokane,
Lilin putih wedelane langking,
Mung kewala nganti,
Ing babaranipun.

Pamberating citra ingkang remit,
Liline linorod,
Netes kabeh adining panggawe,
Pantes kagem ing Sri Narapati,
Liring Narapati,
Sang Hayang Kang Maha Gung.

Yeku wangsulaning awon mring becik,
Bathikan linorod,
Lewih lana kinira majade,
Rasaning wedang kang molak-malik,
Babaraning wali,
Linorod papa gung.

Panasing Hayang kang lewih saking geni,
Yeng mungguha abot,
Luwih saking watu wukir bote,
Wong kang bisa tinggal kadonyeki,
Sebab iku sirik,
Asih ing sisiku.

Kang kumandel sira ing Hyang Widi,
Sinung sih kinaot,
Datan ana tinimbang padhane,
Psajengsun pamit ing sireki,
Mung sira kang sun sih,




Bokmanawa n nugraheng Widi,

Mring sira masingong,
Pupusen ing driyanira Niken,
Kapindhone sun arep ngulati,
Ring arimu kalih,
Jalwestri kawlas-hyun,
Tan wruh lamun manggih pati urip,
Anandhang rarempon,
Rebut urip aparan-parane,
Pisah lan manira kawlas-sih,
Baya datan lami,
(ng)gen-ingsun angluruh…,
(mendengar perkataan sang laki/Tambangraraspun pingsan/dadanya bagaikan tertimpuk batu/penglihatannya kabur/bagaikan dilolosi/seluruh tulang-belulangnya/bagaikan diterbangkan angin ke langit tinggi/tulang urat syaraf/hilang musnah kekuatan/bagaimana mungkin dikatakan oleh sang laki/ duh pujaan hatiku/lihatlah daku/tiada mengira sedikitpun (meskipun) mimpi/apalagi terpikirkan/hamba mengikut kemana (tuan) pergi/sekalipun hancur-lebur dijalanan/tiada ingin kumenyingkir/sekalipun nyawa taruhannya/haru Syekh Amongraga mendengarnya/mendekat ia kepada sang istri/Tambangraras pun luruh hatinya/Syekh Amongraga berkata perlahan/seraya ia rengkuh/menyangga kepala Tambangraras/Dinda duduklah dihadapan Kanda/dengarkanlah baik-baik/terimalah penuh kehati-hatian Niken/agar hatimu bisa menerima/engkau dan aku/aku dan ALLAH/engkau perhatiakn apakah maksud sejatinya/telah berada dalam lindungan Tuhan/ialah Yang Maha Suci/hingga kau tak perlu cemaskan akan diriku/kemuliaan Dzat sejati/tiada bimbang (karena) penuh kepastian/karena semua itu diluar/Dzat Hyang Maha Pencipta/ialah mahluk sebagaimana kita semuanya/hanya siapa yang tergoda oleh iblis/akan celaka karenanya/tiada bernilai kiranya/maka kuatkanlah hatimu Dinda/Dzat Tuhan ALLAH di dalam/jiwamu penuh kesucian/seumpama tubuhmu Dinda/kain putih semata/tercoreng noda hitam/(berbeda dengan jika) semuanya tergambar terencana/tiada yang bertumpuk/penuh tiada luput tembokan (bagi batik) itu/sementara lilin putih digoreskan lurus/hanya tepat berada/di dalam lembaran kain itu semata/adapun garis-garis yang rumit/hanya tinggal meremas coretan lilin/kan menjelma menjadi (karya batik penuh) keindahan/sebagaimana kain (jarit) bagi sang panglima/ialah sang panglima itu/(tiada lain) Tuhan Yang Maha Agung/demikianlah segala tentang baik dan buruk/bagi batikan yang dilorod (dibersihkan lilinnya)/lebih terasa betapa sakitnya/bagaikan rasa minuman yang (tak jelas) membolak-balik (isi perut)/ibarat kain kehidupan para aulia/dilorod oleh derita luar biasa/panas yang lebih panas dari api/jikalau berat/ia lebih berat daripada batu gunung/mereka yang bisa meninggalkan keduniawian/sebab itu adalah syirik/dekat kepada kutukan/yang engau andalkan atas ALLAH/ialah perlindungan epenuh-penuhnya/tiada bandingannya/jika kuberpamit pada dirimu/yakinilah hanya kau yang kucinta/sampaikapan pun/jikalau ada keberuntungan ALLAH/kepadamu dan aku/pupuskanlah dalam jiwamu (yang kedua) aku hendak mencari/kedua adikku/laki dan perempuan (Jayensari dan Rancangkapti)/tak tahu apakah kan kutemukan hidup atau mati/dalamkeadaan utuh atau remuk/(karena) mempertahankan hidup tak berujung pangkal/berpisah denganku/(kepergianku) tidak akan lama/kepergianku dalam pencarian (saudara) itu…, : Serta Centhini, jilid VII, pupuh (mijil) 284:83-97)

Kinareket ing nggangga sinabda manis,
Niken Tambangraras,
Kerup ing tyas emu arip,
Alayap kaeca nendra.
Dyan sinarekaken munggeng langensari,
Wanci wus anggagat,
Dyah kepati denya guling,
Wus ingapit kajang sirah.

Sang mon-wuyung nimbali santri kalih,
Bektane waunya,
Sing Karang Ki Jamal Jamil,
Lah ki santri payo lunga…,
(dalam pelukan bujuk rayu/Niken Tambangraras/hatinya pun lirih dan (kemudian) mengantuk/dan tertidur dalam lelap/Tambangraras kemudian ditidurkan di peraduan/waktu telah hampir pagi/dia terlelap dalam tidurnya/tak terasa diapit kuasa di atas kepala/Syekh Amongraga memanggil kedua santrinya/bawaan dari asal mulanya/(dari Karang) bernama Ki Jamal dan Ki Jamil/(berkata Syekh Amongraga) lah ayo para santriku kita pergi…, : Serat Centhini, jilid VII, pupuh (maskumambang) 385:7-9)



UNINGA

Wis wis kabeh ywa kapiluh,
Kewala muliha sami,
Aja na prihatin dahat,
Maring kang alelana nis,
Kang padhenak nambutkarya,
Lawas enggale pan mulih.

Malah kang jumurung sokur,
Sapakoleh muji dhikir,
Nyelametna lan sidhekah,
Kang lunga lawan kang kari,
Ya kang padha duwe tresna,
Kang lgya nis ing prihatin…,
(sudahlah sudah jangan kalian larut/pulanglah kalian semua/jangan putus doa keprihatinan kalian/kepada yang sedang berkelana/dan kepada kalian yang sedang bekerja/segeralah kalian pulang (ke rumah)/malah jadikan ini penuh kesyukuran/cobalah berdzikir sebisanya/(buat upacara) elamatan dan bersedekah/(bagi) yang pergi dan ditinggalkan/ialah mereka yang sedang bertautkan cinta/yang sedang dalam rasa keprihatinan…, : Serat Centhini, jilid VII, pupuh (kinanthi) 386: 13-14)

0 Opini:

Posting Komentar

silakan komen selama isinya nggak nyangkut SARA atau hal sensitif lain - karena saya sendiri nggak punya pengetahuan-nalar-logika yang mumpuni buat njaga agar nggak keluar jalur.