Senin, 19 Maret 2012

demi Bintang yang menembus

Bab III

Demi Bintang Yang Menembus

Sekarang aku sudah mampu merasakannya betapa penghayatan ini sangat memenuhi keseharianku, mungkin kesan yang timbul dari sempurnanya peleburan, tidak saling menutup kenyataan yang diadakan, agar khayalan yang pernah memasuki wilayah terlarang yang berada di inti terdalam dari ruang hati itu hanyalah tentang si pendamping dia yang memang ditetapkan untuk memelihara ruang itu.

Tak perlu ada pilihan dan keraguan dalam berkeyakinan, malah keraguanku bukan kepada bayangan kekasih hati yang mendampingiku ini, namun kepada debu di ruang hatiku, apakah mereka akan melukainya – dialah penguasa atas hatiku, sang Raja adalah pemiliknya, namun segala yang ada di dalamnya adalah diluar kesadaranku, aku yakin bahwa wanita inilah yang pantas untuk dipercaya menggenggam kunci kendali hati.

Dan khayalan itu harus mempunyai wujud nyata di dunia bumi – dan itulah dirimu, engkaulah sang wanita yag dikabarkan oleh kerajaan langit hingga sempurna gambaran itu, bukan lagi sebagai khayalan akantetapi merupakan serpihan nyata dari sebuah wujud berupa citra aseli – seumpama sutera dengan kehalusannya, mawar dengan aromanya atau permata dengan kemilaunya.

Kehadiran yang merupakan relik dari keutuhan wanita yang tersampaikan kepadaku disaat kerinduan membutuhkannya, karena relic itu dikehendaki oleh sang Raja dalam maksud dan batas ini.

Oh, airmata yang keluar ini bukanlah airmataku tapi milik sang wanita yang mampu kuhayati sehingga mempunyai wujudnya yang nyata ada juga padaku, kantung mataku menjadi wadah bagi airmatanya.

Maka semakin bertambahlah keyakinannya yang pasti dan terarah terhadapku, bahwa perjodohan langitlah yang menetapkan dimana airmatanya dapat dialirkan dari pasangannya yang sudah ditentukan, dan kami telah saling menemukan, berarti satu naskah besar telah tersingkap lembarannya meski hurufnya belumlah mampu kami baca sempurna, oleh karena itulah dibutuhkan keikhlasan tentang seberapa lama pun nanti mesti kami eja – demi pengetahuan langit.

Dan waktu telah berjalan, eja demi eja telah kami kutip, dan suara langit meluruskan melalui hati sang wanita sehingga memudahkan aku yang pria dalam menterjemahkan – tapi tidak akan pernah kami coba tafsirkan karena arti kata malah lebih pasti, dan setiap kalimat mempunyai ruang-waktunya sendiri, meski kadang lelah namun lebih banyak dunia yang kami perbincangkan dengan ilmu yang melingkupi sebagai pembuka pengetahuan atas mereka satu per/satu, lebih terperincikan.

Cahaya telah menyentuh kulit, rasa yang menghangatkan menjadi pedoman waktu bagi kami untuk menghitung jarak antara sang Raja dengan kami, memang masih dalam sesuatu bilangan jarak, namun telah terungkaplah hitungannya sehingga lebih pasti tentang letak kerajaan langit dimana Raja bertempat, bayi pertama telah lahir dan ditempatkanlah dirinya sebagai matahari bagi kami oleh sang Raja.

Dia yang lebih dekat dengan kerajaan dan menggurui para mahluk yang datang dari sana sebelum mencapai bumi tujuannya.

Sang kekasih hati semakin banyak terkuras menggemakan bekal pengetahuan langit dari hatinya, dan aku makin fasih dalam menterjemahkan kalimat itu bagi kami, sebagai amanat kerajaan langit yang harus dibacakan perihalnya.

“suamiku terkasih, oh Ayah tercinta – lelah kiranya Bunda ini bercengkerama dengan mataharimu, tapi jangan biarkan dirimu jenuh dalam menterjemahkan, sedangkan aku akan selalu bertahan meski kelelahan”.

“dinda sang Bunda, wanita dari kampung langit – kelelahan itu adalah kemestian, demikianah tubuh ini memberitahukan batasannya sehingga kesadaranmu akan keadaan lelah itu seharusnya menyampaikan kepada nuansa khidmat, bukan?”

“mestinya demikian itu yang kuterima, namun belum sempurnalah aku ini untuk berlaku tanpa istirahat yang cukup”

“Bunda, tahukah engkau bahwa keluhanmu itu seringkali kau sampaikan kepada pria ini? Dan sdarkah engkau bahwa kemampuanmu telah membawapada keadaan dimana matahari terbentuk dengan baik?”

“apa maksud si Ayah ini?”

“engkau lelah, bukan?”

“ya”

"Engkau sering mengeluh, bukan?”

“sedemikian sering dikala dekatmu, suamiku”

“dan matahari telah bersinar, bukan?”

“mengapa sang pria terkasih ini malah terus bertanya sedangkan hatiku semakin penasaran, dan tidak memelukku yang sedang kelelahan?”

“dindaku sayang, engkau hanya merindukanku, kuketahui bahwa betapa dirimu tak memiliki batas kecuali 7 (tujuh) lapis langitlah perumpamaannya, janganlah kau simpulkan sendiri apa yang kau rasakan sebagai lelah”

“lalu apanamanya yang menimbulkan penat ini ditubuh”

lugu, sampai kapan pun keadaan inilah yang membuat hormat kepada wanita dari kampung langit ini, entah pada lainnya tapi enggan memalingkan mata ini dari pusat perhatian yang adalah dirinya.

Meski ada gusar dari nada suaranya, tapi sebentar ia akan kembali sehingga kesadaranku selalu terjaga olehnya, itulah yang aku tahu.

“Bunda dari matahariku, bila aku gantikan engkau sebentar untuk menggendong manja si buah hati, apakah itu akan menjawabmu, hingga lelahmu akan kau balas dengan istirahat belaka?”

“tentu tidak demikian maksudBunda ini wahai sang Ayah. Malah aku ingin engkau rawat aku dengan jemarimu, dan biarkan sejenk aku susukan si matahari hingga terlelap dan bantulah aku kurangi penat ini kemudian”

“dindaku, seberapa jauh penat yang engkau ingin aku kurangi?”

“seluruh tubuh ini merasakan rupanya”

“bagaimana dengan semangatmu?”

“tidaklah mengapa kecuali tubuh”

“benarkah demikian? Jawablah karena Ayah pun sedemikian merindu keindahan sang Bunda”

Aku menjawab dengan bertanya, dia menanggapi dengan seluruh perasaan yang ada – demikianlah jiwa - pada pertanyaanku ini dia mulai tersenyum, tampak bersemu merah di pipinya, beralih sebentar pandangannya ke ara matahari kami dan kembali lagi menatapku dengan cubit genit yang berlanjut dengan pelukan malu penuh tawa tergoda.

Tak akan berani wanita ini menatap prianya karena sudah menyadari bahwa benarlah kerinduan yang melingkupinya, sedangkan penat adalah sekedarnya yang diungkapkan oleh tubuh dibatas bumi.

“Ayah yang genit, masih menggoda pada saat seperti ini. Belum sempurna ibadah seharian ini, maka bersabarlah hingga sepertiga malam yang keduananti. Tapi sekarang akan kunina-bobokan dulu mataharimu, kemudian tugasmulah merawatku yang dilanda penat-rindu”

“apakah tidak sebaiknya nanti menjelang malam?”

“tunggulah hingga paruh kedua dari sepertiganya malam”

“baiklah, buatkanlah aku minuman penghangat agar reda sedikit aku dari pertanyaan tadi”

“mandilah Ayah segera, dinginlah suhu tubuh nantinya untuk kemudian menuju perawatanku, selesainya Ayah dari mandi nanti maka lelap sudah mataharimu”

“baiklah, sayang – Bunda terkasih”

Segera setelah semua kesepakatan selesai hingga rawat-rayu kedua mempelai langit, matahari terjaga dari tidurnya beberapa waktu kemudian, kiranya cukup tidur siangnya, kata hati yang seperti itu menggugah kenyamanan tidur dan pastilah membuatnya terganggu seperti biasanya, sang Bunda segera beringsut berarti reda sudah penat rindunya.

“cepatlah Bunda, segera tanggapi dan Ayah tetap menemai, membelainya. Lihatlah peluhnya, betapa matahari tetap bersinar dalam tidurnya”

Jiwa bersegera anjak dari kenyamanan yang sebentar telah dinikmatinya, sekedar aku pastikan bahwa segala rasa adalah tidak terbagi sehingga tuntaslah senantiasa kerinduan langit nanti.

Aih. Beratnya – sudah makin besar rupanya, mari sini Ayah yang gendong, sayang.

Biarlah kami menuruti apa inginmu. Tetaplah lelap nanti malam dalam gendong pundak Ayah, sandarkan kepalamu – Ayah akan menatap malam melihat kerling kejora di atas sana. Biarlah Bunda berbaring di dipan beranda berselimut hangat dan Ayah biarkan terjaga – dendangkan tembang dari Sunan yang terjaga.

Tak ada cumbuan langit nanti malam, sayang.

Bunda ingin melukis mimpi setelah seharian menikmati ceriamu dan Ayah ingin menatap kejora untuk disampaikan kepadanya besok dibawah naungan cahayamu.

6 komentar:

  1. hahahaaa gambarnyaaa parah buanget >,<

    BalasHapus
  2. khikhikhi... bukannya mbaca malah ngeliat gambar si Fahmi haha

    BalasHapus
  3. waduh .. gambarnya tuh ... hehe .. :o

    BalasHapus
  4. haha... yang bikin menarik kok malah gambarnya ya?
    padahal aku sendiri ngasihnya cuma sekedar buat nyesuaikan sama erotika isinya aja.
    tapi bukan berarti eksploitasi, lho.

    BalasHapus
  5. gambarnya itu yang bikin waw, mendingan gambarnya di taruh dibawah deh om, dri pada yang di komentari gambarnya ckckckck.

    BalasHapus

silakan komen selama isinya nggak nyangkut SARA atau hal sensitif lain - karena saya sendiri nggak punya pengetahuan-nalar-logika yang mumpuni buat njaga agar nggak keluar jalur.