Bab II
Kejadian Atas Air
Birahi (nafsu) tersungkur lemah tak berdaya dan saat itulah kesadaran akan iman langsung menariknya dan membopong menembus langit lapis ke-7, kemudian membaringkannya di atas balai peresmian sembari berkata, “Yang Mulia, telah kusaksikan bagaiman dia menjadi lemah tak berdaya dihadapan jiwa (wanita)-nya dipuncak percumbuan manusia, dan tegas dia berikan tempat bagiku untuk menggantikan kedudukannya yang tertinggi yang menjadi pengambil keputusan tentang siapa yang berkuasa atas hidup hamba-MU sang pria. Maka berikanlah ampunan dan kembalikanlah kami kepada sang pria dengan keanggunan sebutan dari-MU”.
Sebuah rasa kemudian menjelma suara.
“panasnya birahi telah cukup untuk membakar dirinya sendiri – bila telah pulih nanti maka dia akan bergelar’cinta’”
“terimakasih Yang Mulia”
“bukan, aku adalah desah suara wanita yang disentuh oleh tetesan airmatanya tadi, dan panas birahi membuatku menguap sehingga segera tersampaikan dihadapan kemuliaan”
“tapi, mengapa engkau begitu terasa pada kami?”
“demikianlah peleburan yang karenanya birahi tak mampu menguasai”
“lalu, siapa diantara kami yang telah menaklukkan birahi ini?”
Hati sang pria, rahasia didalamnya yang belum pernah kuketahui – bahkan kuragukan ada sebelumnya, karena itulah si wanita menangis didalam ikhlas dan kasihnya”
“bukankah keikhlasan dan kasih itu akan merugikan baginya?”
Sesungguhnya memang demikian, namun kali ini campur-tangan Sang Raja yang menghendaki perjodohan”
“tapi kemudian, bagaimana engkau berani menanggapi permohonanku kepada Sang Raja? Padahal engkau hanyalah bagian daripada si wanita”
“tidakkah engkau tahu? Wahai penyadar. Bahwa ini adalah tempat bagi kaum kami, langit adalah kampung halaman kami, Adam diolah dari tanah penjuru bumi hingga sempurnanya, sedangkan ibu kita Hawa ditetapkan ada diwilayah ini, demikianlah kodrat kami”
“kamipun bukan tamu di sini”
“ya, memang. Tapi kalian ditempatkan dan bukan ditetapkan”
“memang benar demikian. Baiklah, aku akan kembali”
“bila demikian, maka aku pun bersegera, agar mandi besar nantinya tidak menjadi kesibukan tak berarti”
“baiklah, akan kubungkus hati sang pria agar dia tetap padamu dan merasakan sempurnanya peleburan hingga tidak berbanding serta tidak merasa asing terhadapmu”
“terimakasih, karena begitulah adanya aku memohon dalam kepasrahan yang teraniaya”
“dan telah dikabulkan pintamu itu, maka bersiaplah untuk cumbuan-cumbuan berikutnya”
“dengan pembukaan ini maka aku tidak akan lagi merasa teraniaya”
“pastikanlah”
“tetapkanlah”
“mintalah perayaan atas ini kepada sang pria”
“akan aku tentukan maharnya nanti”
“namun, jangan pula merasa bahwa kita telah bebas dari api suci”
“bersamamu didalam naskah, aku bersedia”
“dan akan engkau ketahui luas bidang dadanya yang hanya untuk tempatmu berlindung nantinya”
“kalau begitu ayapku akan tetap mengembang”
“demikianlah janji Sang Raja”
“dapatkah aku beritakan perihal ini kepada kaumku?”
“tidak, jangan – naskah ini milik kita”
“apakah ini berarti bahwakita dikhususkan?”
“tidak ada kekhususan, dan jangan merasa demikian”
“tidakkah engkau ingin mengatakan bahwa ini adalah aib?”
“ini adalah rahasia Sang Raja”
“maukah engkau membukanya nanti?”
“hayatilah tentang bab perjodohan”
“bagaimana aku bias membaca bab itu sementara tidak memegang naskahnya?”
“layanilah sang pria”
“jagalah sang wanita”
“dengarkanlah setiap kalimatnya”
“jadikanlah sang wanita sebagai pusat perhatian”
“kemanapun arah pandangnya, sesungguhnya engkaulah cahayanya”
“demikian pula engkau akan menjadi pedoman pada kalimatku”
“sekarang, tutuplah matamu dan kembali”
“dan engkau, bukalah hatimu selalu dalam keadaan suci, sujud dan khidmat. “ma’afkan bila aku hanyalah entitas dari sebuah desah yang tersentuh airmata belaka, namun akan tersampaikan semua ini pada sang wanita”
“wanita tetaplah wanita, apa pun wujudmu tetap terangkat dan entitasmu adalah esensial – mungkin aku lebih tinggi tapi engkau sangat berarti”
“sekarang kita beradadi lapis langit ke-7, aku baru ingat bahwa aku menguap terangkat – lalu, bagaimana caranya kembali ke sana?”
“marilah, bersamaku turun ke bumi menuju pelaminan pengantin itu, akan kutuntun engkau”
“tapi kalian berdua, tidaklah sopan rasanya”
“tidak, bukankah kami ini diri yang satu? Marilah mendekat”
“baiklah, sekarang tunjukan caranya”
“engkau adalah wanita, uap airmata yang sempat menyentuh desah suara sehingga terperangkap didalamnya, melebur dan tersampaikan – maka cobalah kembangkan sayapmu, bungkuslah kami dengan seutuh kasih-sayang keikhlasan, dan kita akan menetes”
Kalimat yang pasti akan tetapnya peleburan itu membuat wanita itu tertunduk, cahaya serupa sayap dipunggungnya mengembang, merangkum semuanya dan… menetes dari sudut kerling wanita kepada bumi, dilantai kamar sepasang pengantin.
Demikian juga para saksi yang mengetahui segala tanda dan gejala dari kedua mempelai itu hanya tinggal menantikan undangan bagi mereka.
Dalam segala perbedaan sifat, perilaku dan lisan – mereka sadar bahwa kedua mempelai ini adalah teladan yang melunturkan mimpi serta dongeng – tak aka nada lagi dan mereka merasa beruntung berada pada ruang-waktu yang sama, sebagai bagian yang turut mengisi kehidupan pasangan pengantin itu.
Setelah pembukaan ini, maka tidur tidak lagi menjadi alat pemuas khayal, ia kembali sebagai pelepas lelah, menjadi istirahat yang sebenarnya.
Betapa tingginya arti hidup bila tidak tertutup oleh kesombongan, tapi segala peristiwa dan kalimat tidaklah dibuat-buat akan tetapi kenyataan yang benar memang haruslah dijadikan, demi sempurnanya amanat bumi.
oleh: Agung Pramono
0 Opini:
Posting Komentar
silakan komen selama isinya nggak nyangkut SARA atau hal sensitif lain - karena saya sendiri nggak punya pengetahuan-nalar-logika yang mumpuni buat njaga agar nggak keluar jalur.