Minggu, 09 Oktober 2011

tahun cahaya di Nebula

Bab I

Tahun Cahaya dan Air di Nebula

Belum pernah memperhatikan perkembangan matahari secara terinci, hanya bisa merasakan bahwa pertumbuhan itu ada terjadi bersama banyak sekali ornamen perilaku yang anggun membanggakan mata, selain kecantikan yang nyata.

Aku hanyalah ruh, berupa debu di nebula, benih gemintang yang jauh berjarak dari pusat Bima Sakti, si Matahari yang menjadi bintang erdekat bumi, betapa jiwa itu berperan sebagai langit yang menggendong Matahari bahkan aku.

Tapi keberadaannya mendukung pola Matahari secara langsung, kasih serupa genggaman dalam keadaannya yang tak terbatas seperti membina dengan langsung, sementara kenyataannya ia jauh lebih berjarak dibanding ruh sebagai perantara nafas serupa udara yang bergerak.

Kerinduanku akan kenyataan sang Matahari tepat seperti nebula, layaknya terhitung sekian tahun cahaya – dan apa yang ada dibenak pikiran ini adalah sekedar bayangan dari sekian lama waktu sebelumnya – saat mendekat erat Matahari, ia terasa sebagai keberadaan nyata yang tidak terpikirkan, berada pada sekian hitungan waktu di depan, lebih berkembang dari yang terlintas dalam bayangan.

Demikinlah maka langit ditinggikan, berdiri tegak menopang kerajaan surga atas Ieadah, dan karena itulah jiwa selalu mengalami keadaan yang cenderung naik – meski ada saatnya dapat pula tergelincir, bagaimanapun juga, aku percaya bahwa jika dalam kejatuhannya bahkan jiwa akan mengangkat tangannya tinggi-tinggi yang sedang menggendong hati – yang tak lain adalah Matahari, agar tetaplah hati pada tempatnya.

Tidak jauh terjatuh hingga ruh akan menegur akalnya supaya menetapkan jalan Bima Sakti dalam bingkai perputarannya, agar tersampaikan kenyataan Iradah.

Syukurlah aku mengisi jarak antara langit dengan pusat Bima Sakti – sang Matahari – dia yang menatap rindu kepada satu bintang, Kejora.

Tidak akan menjadi dekat kedua bintang ini, antara Matahari dan Kejora, tetapi akan menjadi dua petunjuk dan cahaya, yang menjadi pusat perhatian bagi setiap mata mahluk yang sedang menatap langit.

Bagaikan rahim, dan demikianlah kenyataannya bahwa kami semua ada dalam rahim dunia, dimana langit adalah wadah tak terbatas – Matahari belum mengenali Kejora, namun tidak merasa asing pula terhadapnya, karena itulah dia merindukannya.

Dan langit tahu, bahwa Kejora adalah benih yang tertanam padanya. Kejadian dunia telah dipersiapkan dan langit bersiap merawatnya, ruh pun makian gagah mendukung langit – demikianlah Iradah dalam jalinan naskah.

Dalam tiap kerlingan mata dan perilakunya si Matahari rupanya telah mempersiapkan dirinya, berbekal untuk menyambut sang Kejora, telah dia sampaikan pijar cahayanya yang mencerahkan langit, si mungil yang ternyata mampu berbuat sedemikian dewasa dalam usianya yang bahkan masih dalam gendong-susuan langitnya.

Telah dipersiapkan segala tempat dan waktu untuk berbagi, diamanatkan pula kepada kami bahwa sang Kejora merupakan kebaikan yang mesti kita rawat sebagaimana keadaan dirinya, kepercayaannya atas kami yang membuatnya makin terang.

Indah sekali hidupnya, takjublah yang kami rasakan senantiasa pada keberadaan Matahari ini. Tidak terasa bahwa peran kami jugalah yang membuatnya ada dan benar sebagai Matahari, kami bersujud pada pemilik kerajaan di atas langit dan Matahari pun mendoakan bagi kami, tentnya dalam suasana hatinya yang lebih ceria karena tampak pula nuansa Kejora yang terpancarkan.

Betapa Matahari dapat sudah memberikan teladan bagi Kejora nantinya, agar dapat menyesuaikan tentang bagaimana memancarkan kilau cahaya dengan kadar yang tepat hingga menghangatkan.

Kami memastikan dan selau memohonkan kepada sang Raja di atas langit agar kerinduan sang Matahari dapat terbalaskan, demikianlah perasaannya tentang masa depan yang akan kami jadikan.

Setelah tahun-tahun cahaya itu maka wujud selanjutnya adalah keabadian terang, masing-masing pusat cahaya itu akan menghiasi dunia dimana kami ditempatkan.

Nebula tidak hanya debu, namun merupakan benih dari sebuah kenyataan yang benar, janin daripada kejadian yang pasti keberadaannya.

Sempurnalah aroma dan kecantikan bebungaan, juga nikmatnya rasa bebuahan dalam naungan yang terang bagi pandangan mata dan hati.

Sang Bunda langit berbisik saat Matahari terbuai kantuk dalam gendong-susuan, “Matahariku sayang, katakanlah saat kesiapanmu menyambut Kejora, sayang. Sampaikanlah kepada sang Raja perihal kerinduanmu itu, Bunda sudah siap menerimanya dan Ayah sudah berbekal benih. Kami akan menantikan Iradah yang tersampaikan kepada kami sebagai amanah, akan kami bacakan bahwa ridho itu adalah karenamu, sayang. Sedang kami adalah dari dan demi sang Raja, tidurlah lelap sekarang, sayang. Besok pagi terangilah sejauh jarak pandangan kami”.

Mereka pun tertidur berpelukan, sementara ruh meneteskan air mata keharuan, dan air itu adalah gejala, tanda bahwa debu nebula siap disentuh oleh nafas dan citra.

Pada tengahnya malam, langit terbangun, menyegarkan kesadaran untuk bersujud, sebagai pertanda bahwa malam mencapai jarak antara.

Kemudian setelahnya, selalu mengurai keikhlasan, bersih tak bercampur apa pun kecuali kesaksian. Enggan merentang jarak, menolak keterpisahan dengan penyatuan dalam upaya meleburkan segenap ruang-waktu, saling menghayati nafas serupa dendang pengiring tarian dari detak jantung. Inilah percumbuan yang dirahasiakan warnanya, seperti langit malam, maka yang tampak hanyalah gelap.

oleh: Agung Pramono

0 Opini:

Posting Komentar

silakan komen selama isinya nggak nyangkut SARA atau hal sensitif lain - karena saya sendiri nggak punya pengetahuan-nalar-logika yang mumpuni buat njaga agar nggak keluar jalur.