Senin, 23 Agustus 2010

The Effective Sex Domination

The Effective Sex Domination


(pemahaman wanita Nusantara tentang diri dan keberadaannya)

kaum laki-laki hanya menginginkan seks, nafsu seks muncul dalam diri individu, dan dia selanjutnya berusaha untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Yang penting di sini adalah seks, dan bukan individu yang memberikannya. (Sigmund Freud)

Pengetahuan wanita Nusantara senyatanya malah berbanding terbalik dengan simpul kajian dan opini dunia Barat.

Paham Eksistensialis seperti Beauvoir dengan opresi “The Second Sex”-nya, atau Sartre, Heggel, Husserl dan Heidegger yang lebih banyak bicara tentang menjadi ada dan kesia-siaan yang intinya tentang eksistensi (perwujudan/keberadaan).

Bukannya terlalu sempit dan tidak layak kita bicara tentang opresi fisik disini, mungkin malah memang karena tidak ada data kajian yang didatangkan dari Timur, dan sebaliknya sejarah kita “mendemonstrasikan” kebertubuhan wanita yang secara nyata jelas muncul dari pemahaman dan penguasaan mereka (wanita kita dulu) atas fungsi dan makna keberadaannya sebagai wanita.

Saya berbicara tentang eksploitasi tubuh yang menimbulkan suatu dampak berupa stimulasi (rangsangan) seksual yang mempengaruhi dominasi dan kemenangan demi kejayaan wanita itu bahkan beserta keluarganya.

Ketika Sartre berbicara tentang “bad faith” maka wanita Nusantara dalam sejarahnya berteriak kepada langit, bumi dan seisinya “the faith is in us” secara sadar, diniatkan dan sangat bertujuan.

Kesimpulan yang sama dari sudut pandang asal yang berbeda terjadi pada Freud dan Marx.

Saya sendiri memaknai kata “wanita” sebagai “Wani Nyata”, yaitu “dia yang berani dengan lantang menunjukkan kenyataan”.

Ketika Beauvoir berkata bahwa “perempuan bukanlah pembangun dirinya sendiri”, maka disini saya sampaikan bahwa “wanita Nusantara membuat pria-nya memahami tentang konsep diri”, sinkron dengan legenda Adam yang terdorong oleh Hawa.

Tidak ada “The Second Sex” malah “The Effective Sex”.

Sekilas mungkin malah Jean Bethke Elshtain dan Genevievie Lloyd dapat menjelaskan tentang wanita Nusantara, namun ternyata latar belakangnya adalah karena dendam sejarah yang tidak tepat merepresentasikan secara komprehensif pemberlakuannya atas alasan yang benar, sekali lagi adalah karena asal dasar pemikiran yang berbeda.

Berdasarkan sejarah, wanita Nusantara itu seperti Plato yang mengatakan “tubuh adalah penjara jiwa”, dan sekaligus Gafni yang mewujudkan diri mereka sebagai “Sechinah”, namun hebatnya sejarah wanita Nusantara membuktikan bahwa Sechinah atau Eros tidak pernah terbuang ke wilayah seksual seperti yang Gafni simpulkan, wanita Nusantara adalah para Gafni di masanya dan kemudian Gafni dengan baik malah memungut serpihan itu terlebih dahulu dibanding kita sendiri, sehingga dia berhasil menemukan relevansinya dengan agama dan kitab suci, yang bahkan cerita sejarah terbuang karena terkubur oleh rasa kodrati.

Dan dengan berani dia menyebut bahwa pengetahuan itu sebagai “tantra Ibrani” serta mengklaim penyebutannya sebagai “ajaran baru”.

Wanita Nusantara ternyata sudah mengenali tubuhnya dan mampu memaknai tubuh itu beserta gejala dan tandanya dalam beragam dimensi, Multidimensional.

Pendapat parsial dari Kelompok Radikal-Libertarian yang berkeyakinan bahwa perempuan harus dapat merebut kembali seksualitasnya dan merepresentasikan seksualitas perempuan yang tidak terepresi artinya berani mengeksplorasi kesenangan seksualitas perempuan. Kelompok ini menetapkan bahwa tidak ada salahnya bagi seorang perempuan untuk berani membayangkan fantasi seksual mereka sefantastis-fantastisnya,sebagaimana saya cuplik dari Gadis Arivia, Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan. Paper dipresentasikan untuk Workshop “RUU Antipornografi dan Pornoaksi Antara Moralitas dan Kebebasan Berekspresi: Dimanakah Posisi Perempuan? (Tinjauan Filsafat, Media, Hukum, dan Sosial)” tertanggal 26 Mei 2004, Ibis Hotel, Jakarta.

Tentunya opini ini terlalu lugu dengan kenyataan pernyataan tersebut muncul dari ”opini anjuran untuk melakukan eksplorasi” dengan keraguan hasut dalam kata ”tidak ada salahnya...”

Julia Kristeva, seorang feminis postmodern, sempat mengambil kesimpulan dengan baik ketika mengatakan

bahwa kaum laki-laki justru lebih sering salah menafsirkan dan tidak mungkin tepat jika mencoba-coba jelaskan hal-hal yang berkaitan dengan tubuh perempuan, tubuh perempuan juga merupakan alat kekuasaan yang tidak dapat diwakilkan. Namun dia tidak mengkaji pengetahuan pria Nusantara atas tubuhnya justeru lebih banyak dipastikan oleh wanita Nusantara melalui stimulasi perilakunya yang erotik.

Sepertinya seorang feminis lain yaitu Germaine Greer kembali hanya melihat dari sejarah di lingkungannya saja, dikatakannya, tubuh perempuan diandaikan sebagai ajang pertempuran (battlefield) dimana ia bertempur memperjuangkan kebebasannya. Tubuh sebaiknya menjadi media bagi perempuan untuk keluar dari ketertindasan, serta tekanan yang membuat dirinya terpinggirkan dan segala hal yang membuat membuat jiwanya tak berdaya. Dan ini tidak berlaku bagi wanita Nusantara dulu, mereka tidak membutuhkan sugesti untuk mendominasi tubuh lain.

Yang penting memang kaum perempuan harus berani memilah-milah sebuah konsep kebenaran. Jangan begitu saja menerima setiap ready made values yang telah dikonstruksikan oleh masyarakat. Ini berbahaya karena akan mengesampingkan subyektifitas dirinya, dan membuatnya cenderung hanya menjadi obyek moralitas yang ditentukan oleh kekuasaan di luar dirinya. Dalam tahap ini perempuan harus mulai mampu berdiri sendiri dalam menanggapi tubuhnya, kebutuhan, keinginan dan minat dirinya, demikian Adriana Venny mengajak perempuan lain untuk bersikap.

Namun benarkah ada ’ready made values yang telah dikonstruksikan oleh masyarakat’ seperti yang disebutkan olehnya?

Ada memang, tetap ada tapinya. Konstruksi tersebut tidak berjalan sebagaimana yang para feminis eksistensialis pikirkan, seharusnya mereka merunut jauh kebelakang ditempat mana mereka menjejakkan kakinya semenjak lahir dan tidak perlu menyadur serta mengutip kalimat yang didasarkan dari kajian yang bukan dengan data Nusantara.

Justeru konstruksi yang terbentuk di Nusantara itu sudah melalui tahapan yang jauh lebih sempurna dibanding kajian Barat, yang sejarahnya memang berbanding terbalik dan merupakan ”dataran muda”.

Gadis Arivia, Pendiri Yayasan Jurnal Perempuan, dari yang saya cuplik tertanggal 27 Februari 2006 mengatakan bahwa dalam perkembangan sepuluh tahun sastra Indonesia terakhir ini tidak dapat dipungkiri tokoh-tokoh seperti Ayu Utami dan Djenar Maessa Ayu telah memberikan kontribusi yang luar biasa. Write your body!, kira-kira begitulah yang diinginkan generasi baru feminisme yang melihat persoalan perempuan bukan hitam/putih atau pun lewat patokan kaidah-kaidah agama tertentu. Generasi ini menganjurkan agar perempuan “menulis” tubuhnya sendiri. Perempuan memikirkan kembali tubuhnya dan memberikan interpretasi baru.

Kembali sejarah bangsa sendiri tampak tidak ditelusuri melalui kata-kata ”generasi baru”, ”menulis”, ”memberi interpretasi baru”. Bila memang dia mempunyai obyek kajian dari sejarah wanita bangsanya sendiri maka tidak mungkin mengatakan hal ini karena karya sastra yang dimaksud hanya sekedar ”menghidupkan kembali” malah dengan sangat malu-malu dan hanya sekedarnya, sayang seakan terpotong dan seperti membuat sejarah baru karena tidak mengenali akarnya.

Lalu mengapa perempuan menolak tabu? Sebab teror tabu lebih banyak melanda perempuan, terutama yang berkaitan dengan tubuhnya. Mariana Amiruddin yang merupakan Redaktur Pelaksana Jurnal Perempuan yang saya cuplik tertanggal 20 Juni 2005 bertanya dan menjawabnya.

Teks sastra merupakan salah satu media yang memiliki potensi membongkar ketabuan itu, bahkan tanpa harus dengan motif membongkar, alam bawah sadar teks akan mengangkat ketidaksadaran tentang tabu itu dalam teksnya.

Maka bukalah tabu itu sekarang juga, agar tak ada lagi pura-pura atas diri kita sendiri, agar mitos tak berkumpul bergumul membengkak menjadi akut. Kita tak mau stroke melanda diri kita sendiri dan tabu telah menyumbat aliran darah yang tak kuasa mengalir, yang membuat tubuh kita lumpuh dan bodoh.

Kenapa seringkali wanita Nusantara tidak berhasil mengenali akarnya? Adalah keliru ketika kata yang mereka gunakan adalah “membongkar tabu” atau “teror tabu”. Sekali lagi mereka sebenarnya ”menghidupkan kembali”, mati suri dan hidup lagi. Bukan kosong dan mengisinya.

Bandingkanlah dengan sejarah wanita Nusantara, di dunia Barat sebelum abad 19 persoalan sexual desire merupakan sebuah tabu atau bahkan amoral. Segala sesuatu tentang seks baik perasaan dan pengetahuan seks merupakan sebuah wacana yang dilarang serta diabaikan. Selama berabad-abad sexual desire manusia ditekan sedemikian rupa dan barang siapa yang melanggar dihadapi oleh sangsi-sangsi sosial yang berbicara atas nama moralitas.

Di dalam perdebatan filsafat Barat, pembahasan sexual desire yang dimulai dari filsafat Yunani hingga Modern diwarnai oleh ketegangan-ketegangan antara penerimaan, pentabuan serta pengucilan pemahaman-pemahaman erotisme, sexual desire, dan sebagainya.

Sungguh kajian yang sedemikian ternyata menjadi sebuah ironi dan menjadi mainan anak kecil bagi wanita Nusantara di jaman keemasan dominasinya.

Schopenhauer bahkan menganggap sexual desire sebagai sebuah delusi—karena sesungguhnya manusia juga menjadi obyek di dalam kegairahan seksual.

Saya jelas menyunggingkan senyum ketika menyimak kajian Elias (1978) dan Foucault (1978) yang menjadi dasar pengetahuan dan pedoman pemikiran feminis modern yang mengungkapkan bahwa konsep privacy, diri, dan berkembangnya erotisme merupakan bagian dari ciri pengalaman ”manusia modern”, saya tertawa kecil dan menyindir sentimen dengan pengetahuan bahwa wanita Nusantara ternyata semenjak dahulu masuk dalam katagori ”manusia modern”, sedangkan dunia Barat mengembangkan pola ini baru pada seputar abad 19.

Berarti selama ini apa yang diperjuangkan para feminis modern adalah sebuah wacana mentah atas konsepsi wanita Nusantara, tidak ada paparan sejarah dari negeri sendiri malah merujuk kepada kajian ”luar” yang jelas berbanding terbalik, kalaupun memang kita ingin mempropagandakan hal ini maka bangsa kitalah yang dapat memberikan gambaran tentang prototipe wanita dengan segala konstruksinya berdasarkan sejarah wanita Nusantara.

Dan sebaliknya malah seharusnya wanita Nusantara modern dapat membangun konstruksi sendiri yang benar-benar baru, dengan konsepnya sendiri yang ternyata bilamana diruntut akan berada sangat jauh di depan konstruksi belahan dunia manapaun.

Jauh sebelum Sigmund Freud, dalam Teori Naluri dikatakan; kaum laki-laki hanya menginginkan seks, nafsu seks muncul dalam diri individu, dan dia selanjutnya berusaha untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Yang penting di sini adalah seks, dan bukan individu yang memberikannya.

Sementara itu, hasrat berjimak perempuan lebih banyak bersumber pada psikisnya untuk memperoleh kehangatan dan cumbu-rayu dari orang yang dicintainya. Secara fisik tidak ada yang tertimbun sehingga tidak membutuhkan dengan segera untuk terpenuhi hasratnya (Hamim Ilyas, dkk. Perempuan Tertindas? Kajian Hadis-hadis “Misoginis” (Yogyakarta: PSW IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta – The Ford Foundation, 2003), hal. 231).

Justeru inilah pemahaman akan pengetahuan wanita Nusantara yang dikembangkan ke dalam dunia kebertubuhan untuk mencapai kejayaan diri beserta keluarganya.

Manusia menghadapi problem hidup setelah mendapatkan kesadaran tentang keterpisahan dan eksistensi ketakbersatuan (disunited existence) dengan alam menjadi penjara yang mengerikan bagi manusia. Manusia selalu amat cemas karena keterpisahan ini. Ia terus berusaha untuk membebaskan diri dari penjara mengerikan ini dengan mencari pertautan diri dengan orang lain dan dunia luar.

Problem keterpisahan ini di antaranya diselesaikan dengan cara menenggelamkan diri dalam situasi orgiastik di antaranya berupa pengalaman seksual, dengan orgasme seksual dapat merasakan kepuasan menyatu yang hampir sama dengan trance dan obat bius. Ritus pesta seksual secara kelompok merupakan bagian dari ritus sebagian suku-suku primitif. Pengalaman orgiastik ini membuat manusia mampu bertahan dari derita keterpisahannya, dan untuk menjaga stamina pengalaman ini harus diulang. (Erich Fromm, The Art of Love (Gaya Seni Bercinta) Ed. A. Setiono Mangoenprasodjo, Dyatmika Wulan Merwati (Yogyakarta: Pradipta Publishing, 2004), hal. 21.)

Sekali lagi kita melihat keluguan seorang Erich Fromm, yang mengatakan bahwa pesta seksual kelompok merupakan ritus suku-suku primitif, sebaliknya pola ini malah berlaku di jaman kita, sedangkan dulu pemegang kendalinya adalah para wanita Nusantara.

Dulu, dikebanyakan wilayah Indonesia – setiap gadis itu mempunyai perilaku dimana tidak menggunakan

penutup tubuh (terutama bagian atas). Namun perilaku semacam ini malah dijadikan sebagai apology bagi kalangan budayawan atau seniman dalam kesimpulannya bahwa perihal erotika sudah mendarah-daging dan bukanlah sesuatu hal yang tabu bagi masyarakat Indonesia sehingga adalah ironis dan munafik bilamana harus ditutup-tutupi.

Benarkah itu?

Bukankah dulu penutup tubuh itu hanya untuk kalangan tertentu dengan strata sosial yang tinggi sebagai pembeda? Dulu pakaian adalah sangat mahal.

Tidak dan bukan!

Alasan sebenarnya yang benar adalah bahwa perilaku itu senyatanya adalah muncul dari semangat seksualitas. Hal telanjang itu memang terjadi atas dasar kesengajaan yang bertujuan agar mendapat perhatian, adalah suatu penawaran terbuka agar si gadis dibeli oleh para bangsawan untuk dijadikan gundik atau selir sehingga nantinya dapat meningkatkan taraf hidup dan status keluarga beserta keturunannya.

Deffinitely an effective sex, a wanita Nusantara dome of nation.

(sumber: internet & pribadi)

0 Opini:

Posting Komentar

silakan komen selama isinya nggak nyangkut SARA atau hal sensitif lain - karena saya sendiri nggak punya pengetahuan-nalar-logika yang mumpuni buat njaga agar nggak keluar jalur.