Senin, 23 Agustus 2010

Rahasia Cahaya

Demikianlah pekabaran tentang semesta percintaan, merupakan sebuah perenungan mulia atas cumbuan si pemegang amanah bumi dengan benih langitnya.

Tentang seorang pria dan seorang wanita yang ingin menjabarkan utuhnya perasaan mereka untuk mengisi ruang antara langit dan bumi, demi menemukan sebuah mata rantai yang terlepas dari rangkaian jaman.

Merekalah yang mendirikan kembali sebuah kerajaan rahasia sang waktu yang tidak pernah meninggalkan jejak, tidak memberikan petunjuk arah, tidak membuat jalan setapak menuju istananya.


Agar terjaga kesucian wilayahnya dari langkah-langkah mahluk bumi yang rendah.

Kejadian ini berlangsung ketika kedua mempelai (pria – wanita) yang telah saling dihalalkan, memulai cumbuannya di pelaminan yang direstui.

Sepasang kekasih yang kini menjadi pengantin itu menyaksikan betapa tubuh mereka hanyalah terdiri dari beberapa macam cahaya yang memiliki bentuk, dan masing-masing cahaya yang berbentuk itu memilki tempat, tujuan, dan tugas masing-masing.

Akantetapi pada mereka terdapat kesamaan, yaitu mereka bertanggungjawab atas kedua tubuh pengantin itu.

Warna pertama membentuk sebuah lingkaran yang mengitari tubuh pengantin, ia merupakan nafsu yang memenuhi kedua tubuh itu untuk saling mengikatkan diri dalam bingkai pernikahan, dan warna itu menjaga keadaannya dari campur tangan warna lain yang mungkin berdatangan karena kilau gairahnya.

Warna yang kedua melesat dengan cepat, menembus tujuh lapis langit dan akhirnya berhenti dihadapan sebuah singasana yang maha indah tak terbayangkan. Ia bersujud, menangis, dan memanjatkan doa bagi kedua tubuh pengantin tadi.

Begitu rendah ia bersujud, nyaris sejajar dengan dataran cahaya itu, hingga ia tampak terserap oleh warna yang ada disekelilingnya, dan kini kesatuan warna itu dipenuhi oleh pujian doa.

Warna ketiga seperti selarik cahaya yang panjang terentang, setebal helai rambut yang berkilau indah.

Dua ujung pertama tertanam pada kedua ubun-ubun pengantin itu, kedua ujung itu bertemu pada suatu jarak dan terjalin menjadi satu hingga berakhir di bagian pusat warna yang kedua.

Warna ketiga inilah yang bertindak selayaknya tali penghubung bumi dengan langit.

Warna keempat memiliki bentuk seperti setetes air,

ialah yang tampak lebih banyak bergerak.

Semenjak awal ia melesat bersama warna kedua, kemudian turun perlahan meniti warna ketiga hingga kembali menuju pengantin itu.

Bergerak perlahan seperti tetesan air hujan yang bergerak jatuh dari rambut di kepala. Nuansa khidmat mengiringi alur pergerakannya yang amat lambat.

Cahaya kelima adalah yang terakhir, ia melekat pada kedua tubuh itu, sebagai warna yang saling merekat erat.

Ia pun memiliki nuansanya sendiri sehingga cumbu-rayu mereka (pria – wanita) terasa hangat, akrab, dan asih.

Warna kelima ini seperti mewakili perasaan yang ada pada kedua tubuh itu, warna yang sama dari dua jenis tubuh yang berbeda, sehingga tampak sebagai kesatuan yang tak dipisah jarak.

Akhirnya, warna keempat sudah semakin dekat, jaraknya hanya tinggal sepenjang rentang jalinan kedua cahaya yang muncul dari ubun-ubun pengantin.

Kemudian ia berputar-putar mengikuti alur jalinan dari salah satu rentang cahaya, dan terus meniti cahaya itu, salah satu yang menuju ke ubun-ubun si wanita pengantin.

Mereka kembali sebagai pasangan pengantin, tidak ada ingatan yang tersisa dari kejadian tadi.

Entah seperti kerinduan, suatu pengalaman yang hadir hanya terhadap sepasang insan pengantin itu.

Hanya saat keduanya berniat untuk saling mendekat, suatu daya tarik yang menjadikan keduanya sebagai sebuah wlayah keberpalingan – pelarian, dan pelampiasan terhadap masing-masing diri mereka.

Selalu kembali dengan semesta keingintahuan atas sesuatu yang membuat mereka merasakan adanya pengalaman yang tak pernah dapat diungkap dengan kata-kata dan ingatan.

Restu tidak diterima hanya berdasarkan persaksian semata, akantetapi didasarkan oleh kepastian akan tetapnya pasangan itu, tidak ada perubahan, tidak akan terjadi lebih dari satu kali. Dengan syarat bahwa mereka benar-benar adalah mahluk yang disebut sebagai manusia.

Ini semua seperti ruh yang selalu meyimpan kerinduan, seperti setetes air yang yang selalu ingin kembali ke dalam pelukan samudera.

Atau tentang jiwa yang selalu terbang melayang, menyampaikan kisahnya ke seluruh alam raya – di setiap penjuru dunia yang terbentang dari bumi hingga ke langit.

Hanya nafsu yang tidak mampu hidup bersama mereka, akhirnya kembali melebur bersama legenda bumi, untuk mengenang apa yang pernah terjadi di sana. Tinggal hati, dimanakah hati?

Wadah cinta yang diperjanjikan, bilamana dia benar adanya?

Satu suara memberikan jawaban, “lihatlah apa yang terlindung dipangkuan si pengantin wanita.

Bersama kehormatan dan rasa iba, maka ia akan menjadi sesuatu yang kalian sayangi, sebagai kesayangan!”.

Kembali pada kabar, ada yang tertinggal di sana. Ada satu warna lagi yang terdiri dari dua bentuk, dan mereka jelas seperti pengantin itu. Dua warna semerah api yang keduanya berada agak jauh dari pengantin, tidak semakin dekat karena terhalang warna pertama.

Mereka berdiri sendiri, tegak sebagai da bentuk yang berbeda, dalam suatu jarak, namun dengan warna yang sama. Memandang ke arah pelaminan pengantin tanpa sedikitpun gerak.

Keduanya tidak menampakkan keinginan atau kemampuan untuk kembali melebur pada kedua tubuh itu.

Kedua warna semerah api yang berbentuk itu hanya tampak sebagai dua pasangan yang sedang membalikkan badan sambil menengadahkan kepala dan meletup sebagai percikan-percikan kembang api, padam ketika menyentuh tanah.

Kemanakah warna keempat itu menetes?

Dia terhenti di persimpangan benang cahaya antara pengantin, membulat dan menetes jatuh ke bumi dimana pengantin berpijak. Kesejukan itu membuat bumi berguncang dan berputar secepat cahaya - mengundang angin yang hembusannya menerpa pohon, air, mahluk bumi yang lembab dengan gemirisik deru suara.. mereka berdzikir.

Dan kabar itu berhenti seiring keduanya (pria – wanita) membersihkan diri.

0 Opini:

Posting Komentar

silakan komen selama isinya nggak nyangkut SARA atau hal sensitif lain - karena saya sendiri nggak punya pengetahuan-nalar-logika yang mumpuni buat njaga agar nggak keluar jalur.