MISOGINI:
Bagaimana kau bisa mengatakan bahwa jiwamu adalah wanita? Adakah rahasia atau serupa misteri tentang wanita yang kau temukan sehingga kau berani mengatakan bahwa itu adalah sifat wanita? Sudahkah kau memiliki jawaban itu?
Katakanlah kepada mereka yang membutuhkan keterangan itu, jelaskan pada mereka yang belum mengenal perihal wanita dan kewanitaan agar tak muncul lagi perbedaan. Bersediakah kamu? Matikanlah sudut pandang mereka dengan pengetahuanmu yang pasti itu, pengetahuan yang membawamu pada sebuah kesimpulan yang benar dan pasti. Ataukah kau hanya ingin menambah satu lagi permasalahan? Atau kau hanya mengikuti perasaan belaka? Perasaan yang berkaitan dengan sejarah hidupmu mungkin? Atau mungkin kau terbawa arus pemikiran yang ada di luar dan selain dirimu, sehingga kau benar-benar menginginkan hal itu seutuhnya ada padamu sebagai diri yang dikenali sebab hal tersebut?
Kumulasi dari semua itu kemudian kau simpulkan dengan keinginan untuk merubah tubuhmu, agar kau tidak dibayangi oleh perasaanmu, agar tidak ada lagi hantu yang mengejekmu dengan teriakan ‘banci’. Sampaikanlah ihwal dan perihal kewanitaan itu, jangan egois, memikirkan diri sendiri bila kau memang manusia dengan akal yang tinggi dan terbuka sehingga Tuhan pun memberikan ilham kepadamu. Aku percaya kata sang bijak yang mengatakan bahwa manusia belum dikatakan hidup bila tidak mengenali jiwanya, dan aku juga percaya secara materil bahwa bukti konkret itu lebih pada apa yang terinderakan secara lahir.
Seperti yang lain, aku mengikuti anggapan bahwa kebenaran itu memang relatif. Marilah kita lihat kebenarannya nanti, jalani apa yang ada sekarang. Sejauh ini banyak kesamaan pandangan antara aku dan orang lain pada umumnya. Bila pun hal ini menyangkut wilayah agama, bukankah aku sudah menjalankan kewajiban atau tanggung jawabku dengan taat melaksanakan apa yang kuyakini kebenarannya. Kamu selalu berkata, “and the bla, and the bli, and the blu!”, cepat, lancar dan pasti.
Mereka yang kau tanya hanyalah dokter, bukan filsuf. Tentu mereka akan lelah tersita dengan hal ini, karenanya mereka akan membiarkan saja sebab sudah terlalu membuat pusing. Toh, bagi kita ini masalah kecil, perkara dosa itu serahkan saja pada yang mengerti karena bukan termasuk bidang mereka. Masih banyak tentunya yang mereka kejar, masih bertumpuk pekerjaan rumah mereka. Maka dicarilah yang nyata-nyata penyakit dengan gejala yang jelas, maka konflik dibatasi hanya bila terjadi oleh lebih dari satu orang, kalau konflik batin sudah terlalu merepotkan, yang dihadapi cuma satu orang dengan alasan yang kompleks, sederhanakan saja, kurangi beban para dokter.
Kalau aku, jauh dari pengetahuan kedokteran apalagi filsuf yang benar-benar berpikir tentang hakikat atau bukan pula orang bijak yang berwawasan luas dan amat mencukupi untuk menengahi sesuatu masalah dengan jawaban yang memuaskan. Aku lebih pada orang yang mencintai hasil kerja dan pemikiran mereka, dan dengan caraku sendiri aku bertindak lebih mudah dengan pikiran yang lebih sederhana, sebut saja aku sang pembebas. Jiwa yang menggenggam pengetahuan tentang wanita itu telah meninggalkan tubuhnya, aku berharap semoga jiwa itu akan merasuki tubuh yang tepat karena aku menghormati jiwanya juga mengasihani tubuhnya, tubuh yang tak mampu menuntut satu jiwa untuk mengisinya tanpa mesti merubah bentuknya.
Aku menyelamatkan mereka berdua, aku ambil saja semua pemikiran yang baik dari para bijak agar tidak ada konflik dan perdebatan diantara mereka. Apalah artinya kebersamaan mereka, hanyalah mahluk asing berupa jiwa dan tubuh yang tidak saling berjodoh sehingga terlambat menyadari bahwa peleburannya mengakibatkan derajat mereka berada satu tingkat di bawah manusia yang terendah. Itu tidak adil, sebaiknya para mahluk rendah yang bejat tidak pantas disebut manusia, jadi kamu tidak lagi dianggap lebih rendah dari mereka, namun berada pada tataran yang sama, sebutlah mahluk saja.
Akhirnya tidak ada yang mesti diubah, saat mereka sudah menemukan jiwa dan tubuhnya masing-masing, mungkin mereka akan berjodoh sebagai kekasih yang berlanjut ke pelaminan, indah sekali. Tak ada lagi wanita yang dibelenggu oleh laki-laki atau tak ada lagi laki-laki yang diatur oleh wanita. Tak ada lagi siksaan lahir ataupun batin, aku membebaskan keduanya dari dilema. Bebas seketika, bila hal ini tidak kulakukan maka akan ada penyiksaan terselubung yang berkepanjangan. Aku tidak mungkin mencintanya, tak akan pernah bisa karena terlalu takut (atau mungkin pengecut?).
Tak ada laki-laki yang mampu mengalahkan kekuatannya, sebesar apapun tubuh dan tenaganya, pasti bertekuk lutut. Meski dia mampu menjamuku dengan apapun yang kuinginkan, tapi aku tak dapat menerima cinta dan kasih sayangnya. Ini akan seperti cinta segitiga, dia tidak bisa melepaskan pria yang lain, seberapapun besar usahanya. Kalaupun aku dapat menerima cintanya dan menjalani hubungan segitiga ini, maka laki-laki itu akan terus teraniaya dalam siksaan yang tak dapat kubayangkan (dan memang aku tidak mempunyai bayangan tentang hal itu).
Bukannya aku tak punya rasa belas kasihan, tidak pula aku sengaja berdiri di atas penderitaannya karena aku tahu pasti bahwa cinta si wanita tak akan terbagi, hanya untukku saja. Aku tak mampu menahan diri, maka kutikam dia, aku membunuhnya. Tidak – aku membebaskan mereka, dan sekarang lebih jelas. Yang mampu bertahan bersamaku di dunia ini adalah si lelaki – tubuh itu. Mana jiwa itu? mana si pemilik keinginan yang sebelumnya begitu kuat ingin merubah tubuh itu menjadi tubuh yang lain seperti tubuh perempuan umumnya? Mana jiwa itu? mari kita berdebat tanpa perlu menghadirkan tubuh lelaki itu.
oleh: Agung Pramono
0 Opini:
Posting Komentar
silakan komen selama isinya nggak nyangkut SARA atau hal sensitif lain - karena saya sendiri nggak punya pengetahuan-nalar-logika yang mumpuni buat njaga agar nggak keluar jalur.