Identifikasi Seksis
S aya berusaha melihat dari sudut pandang yang berbeda secara obyektif mengenai pendapat yang menyatakan bahwa “perempuan mempunyai keterbatasan secara fisik”, sementara di sisi lainnya ada pernyataan bahwa perempuan terlahir dengan hak-hak yang sama dengan laki-laki. Untuk mempunyai kekuasaan atas wacana seksualitasnya sendiri atau lebih tepatnya perempuan lah yang berkompeten atas tubuhnya sendiri sehingga mempunyai kebebasan dalam berekspresi bersama tubuhnya itu. Kalaupun ada pertanyaan tentang siapa sebenarnya yang paling berhak untuk memberikan penilaian terhadap tubuh perempuan, maka saya punya jawaban bahwa siapa pun bisa, karena konsep yang coba disodorkan oleh kaum feminis pasti berkaitan dengan semesta eksistensi.
Saya setuju denga konsep Luce Irigaray dengan idea difference-nya yang menyatakan dimana baik perempuan atau laki-laki harus dikenali perbedaannya masing-masing, berhak dinilai secara khusus. Akan tetapi masalahnya adalah siapa yang akan lebih mewakili dan cenderung tepat? Pastinya, perempuan itu sendiri yang akan lebih mengerti metode pendekatan yang tepat terhadap dirinya sendiri, bahan pengetahuan yang selalu ada dan melekat pada mereka sendiri. Pendapat saya, sebenarnya perempuan sudah sehrusnya mempunyai batasan-batasan sendiri terhadap tubuhnya, dan memang harus dibatasi karena bila kita berusaha untuk keluar dari pola alamiah menyangkut apa yang terjadi di dalam metabolisme juga hormon atau lainnya, maka kita akan membutuhkan dukungan teknologi berupa produk yang akan menjadi trend komersial.
Padahal ketika hal tersebut mulai dirasakan memiliki potensi optimal sebagai daya dukung yang memadai, kepentingan komersial itu terus mempertahankan karakteristiknya sebagai produk dari hasil studi yang bias gender. Tapi memang, yang menjadi persoalan adalah “bagaimana sebenarnya kinerja unsur-unsur alamiah tubuh menjadi sebuah konsep tentang identitas?”.
.Mungkin pertanyaan tersebut akan menjawab idea Carol Christ tentang kepentingan akan adanya tokoh perempuan yang dapat mengidentifikasi keperempuanannya. Masih banyak perempuan yang membanggakan dirinya sebagai manusia, dalam idea-nya masing-masing yang saling berbeda dan ada pula yang bertentangan sehingga perbedaan tersebut meninggalkan jejak yang sangat tidak baik bagi perempuan lainnya yang sedang hidup dan akan lahir.
Bukan perempuan sebagai “idea yang terbandingkan”, untuk menemukan celah kesetaraan yang kemudian diolah sebagai bahan yang siap dikonfrontir atau pun kerangka acuan yang bersifat provokatif utnuk disosialisasikan kepada kaumnya, akan tetapi pemahaman integral terhadap kata “perempuan”. Apa yang dipelajari perempuan atas tubuhnya hanya berkutat dan terbatas pada sesuatu yang dapat memberikan daya saing pada laki-laki, jadi artinya sama saja dengan keinginan untuk berperan atau memfungsikan diri sebagaimana halnya laki-laki.
Di sisi lain ada yang mencari dari dirinya yang dapat memenuhi hasrat lawan jenis yang merupakan titik lemah mahluk laki-laki, mengorbankan diri demi pelampiasan dendam terhadap sistem patriarkat yang telah melumpuhkan pikiran mereka. Pada kenyataannya adalah hal yang biasa, namun sebenarnya berpotensi negatif dalam perkembangan arah pemikiran dengan tujuannya yang membabi-buta, bila hal ini terus berlanjut maka identitas alamiah malah semakin tersamar dan terasing dari dirinya sendiri, yang menurut saya adalah ketidak-jelasan pembawaan kelamin. Meskipun aspek-aspek kehidupan secara umum akan tetap tersentuh, namun batas pengertian yang mesti dikuasai adalah perempuan harus menempatkan dirinya sebagai satu-satunya gen informasi atas eksistensi perempuan, kalau bisa dirumuskan mungkin akan menjadi seperti ini: “profesi + karakter perempuan”.
Polemik yang mungkin sengaja dimunculkan dan bertahan (mungkin sebenarnya karena kerinduan terselubung antar kedua jenis kelamin?) adalah tentang profesi yang dikatakan sebgai agen transformasi seksis, sebagai sesuatu yang mencerminkan atau bahkan memberikan sebuah karakter. Yang selalu kita pikirkan sebagai hal ideal adalah bahwa setiap profesi dapat dipercayakan pada jenis kelamin apa pun. Bilamana demikian, maka yang perlu kita perhatikan adalah mengenai sistem kinerja tubuh. Perlu diuraikan mengenai batasan yang tidak mengganggu atau mempengaruhi perubahan pola alamiah mahluk manusia yang utuh, peranannya sebagai manusia harus bertanggung-jawab terhadap fungsi seksualnya. Secara teoritis kita terpengaruh oleh pemikiran tentang perubahan yang evolutif, dimana kebenarannya bahkan masih dipertanyakan.
Dan bila dimungkinkan terjadi bukanlah sebagai sebuah tahapan yang langsung terselenggara melalui jenjang garis keturunan langsung dalam arti sebenarnya, akan tetapi sebatas sebuah konsepsi tentang perkembangan genetika yang sempat terputus. Dengan kata lain, tidak terjadi dalam satu rentang waktu yang benar-benar terikat sebagai rangkaian yang tidak terhenti. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa kelamin berkaitan dengan hormon, DNA dan sel-sel yang menentuakn perbedaan bentuk. Saya sendiri tidak terlalu menyuai idea dan seputar topik yang mengajukan istialh gender, karena kita akan selalu terjebak dalam paradigma sejarah, sementara yang selalu menjadi pokok masalah adalah rentang waktu – masa lalu, sekarang dan masa depan.
Dan kita bukanlah sebagai saksi sejarah yang memiliki wawasan yang memenuhi syarat. Dari sana kita hanya sebagai pewaris fakta sejarah atau sekedar merasa sebagai korban peradaban. Mungkin saya terlalu mudah mengambil kesimpulan, kurang pertimbanagan atau malah pragmatis? Kara saat saya mencoba untuk memasuki wacana gender, saya berada pada ruang-waktu dimana teori tersebut sedang dikembangkan – tidak orisinal, dan hanya itu.
Dapat dibilang terlalu lugu dan beresiko menjerumuskan diri sendiri tapi bukan berarti buta untuk melihat aksi-aksi yang blunder. Semenjak itu saya lebih tertarik dengan representasi lahir-batin – phallus dan vagina, perempuan dan laki-laki – tubuh yang dipengaruhi oleh kenyataan tersebut. Alasannya adalah lebih menitik-beratkan pada dikotomi yang statis terhadap pemikiran manusia yang mendasarkan profitabilitasnya atas sensualitas, erotisme, sex appeal dan segala sesuatu yang berhubungan dengan naluri seksual.
Saya belum, bahkan tidak ingin menjumpai jalan buntu yang menyebabkan keterasingan dari dunianya sendiri. Di lain pihak, saya juga tidak mau terlalu laru dalam konteks kelamin dan menutup diri dengan kausalitas yang mungkin berada di luar konteks, saya secara pribadi sudah merasa berkecukupan dengan pemahaman tentang etika kemanusiaan.
Saya rasa, memang istilah gender itu mungkin lebih pada retorika yang sengaja digunakan sebagai kamuflase proyek blunder dari kelamin yang sensitif. Kesalahan saya di sini adalah bahwa persepsi saya mengarah kepada negasi. Selama ini, apa yang ada di dalam kitab-kitab suci masih dianggap atau dipercaya hanya sebagai sebuah konsep tertulis berdasarkan persepsi masyarakat dan lingkungannya sesuai dengan kenyataan yang terjadi pada masa kemunculan kitab-kitab tersebut. Tidak lagi sebagai ekstase yang membebaskan (dalam konteks filsafat) tetapi berkembang sebagai penyeimbang. Bila demikian halnya, maka kita tidak atau belum memiliki pedoman yang tepat.
Permasalahan yang muncul secara tidak disadari adalah tentang berlaku dan diterapkannya wacana kebebasan untuk berkembang secara kompetitif dalam berbagai aspek kehidupan. Sepanjang hal tersebut belumlah sebagai sesuatu yang berhubungan dengan keperempuanan akan tetap menyentuh aspek ideologi, sosial, politik, ekonomi dan sebagainya agar diakui sebagai peserta dalam kompetisi yang tengah berlangsung (entah apa hadiah yang diperoleh, mungkin secara logis hanyalah kepuasan alter ego).
Bisa jadi pula, identifikasi yang akan dijabarkan adalah sekedar pemenuhan syarat yang dibutuhkan untuk menjadi setara, ia hanya sebagai pelengkap dari bangunan yang sudah terbentuk, menginginkan kebebasan di dalam sebuah kendali – tidak menyadari bahwa mereka tetap berada pada satu genggaman, bahkan kegetolan akan sifat naif tersebut memberikan justifikasi terhadap sistem patriarkat.
Perlu adanya penghentian langkah yang diambil dalam lingkaran interdependensi pada sistem patriarkat, jangan malah memperkokoh kemantapan dari sebuah konstruksi yang telah diketahui kelemahan dan pengaruhnya yang negatif terhadap keperempuanan – sebuah heterostruktur yang mapan dan terbuka, kematangan asimilatif.
Sementara pada kenyataannya, keberadaan perempuan sebenarnya dapat berlangsung di luar kerangka itu semua, sebagai bangunan dengan pondasi serta konstruksi yang benar-benar independen. Dan untuk itu memang diperlukan kerja keras terhadap proses identifikasi demi membangun sebuah wacana yang orisinal dan baru. Meninggalkn alur yang berputar pada masalah perbandingan terhadap kerangka oposisi biner. Sebuah dunia perempuan yang utuh dan tidak memberikan akses terhadap intervensi maupun penetrasi oleh mahluk laki-laki. Suatu konsep etis yang mendasarkan pada pengetahuan tentang perempuan, sebuah batas yang mantap dengan kepastian untuk disebut sebagai perempuan yang sebenarnya.
Konstruksi dasar dari pemikiran kaum feminis adalah hanya untuk membuktikan kemampuan gerak dan pemikiran yang tidak berbeda, bila demikian maka tidak ada sama sekali perihal independensi dari sebuah paradigma yang ditawarkan – hanya berjalan di tempat. Atau bisa disebut sebagai karakter trend belaka – omong-kosong tentang khayalan yang memang sudah diperkirakan, tidak ada hal baru yang diajukan, masih berada pada satu kerangka yang sama dengan sudut pandang yang diperbedakan, malahan hasilnya makn memperpanjang garis yang membentuk pola lingkaran setan.
Di sini dan saat ini adalah dunia yang menurut para feminis adalah dunia patriarkat yang berarti apabila mereka (para perempuan) menghidupkan karakternya maka akan dengan mudah dapat ditebak apa yang akan terjadi – perlawanan seperti biasanya. Bukankah hal tersebut sejauh ini hanya terealisasi dalam bentuk penetrasi atau bahkan secara tegas merupakan proyek intervensi? Meskipun tidak ada maksud untuk seperti itu namun kita juga mesti mempertimbangkan persepsi “yang lain”. Karena masih berada pada sisi yang sama dan oleh karena itu masih tetap akan mengimplementasikan pemikirannya yang akan diterima sebagai oposisi – masih tetap akan dibaca secara implisit.
Kate Millet yang revolusioner atau gerakan Women’s Liberation yang mempunyai masalah dengan kaumnya sendiri, tentang apa yang perempuan tanamkan di dalam pemikirannya sendiri dengan mengkambing-hitamkan laki-laki tatau phallus secara terpisah – hanya sebagian yang dianggap bermasalah.
Dunia yang dimaksudkan tidaklah dalam konteks yang berseberangan akan tetapi sebuah karakter yang tidak menentang arus – tentu berbeda dengan makna melawan arus – suatu pemikiran yang seringkali tersentuh namun belum ada yang menggenggam karena tidak ada yang merasa berhak untuk memiliki (atau mungkin tidak mampu bahkan enggan menerima?). Di wilayah yang tidak atau belum bertuan, di sinilah karakter tersebut harus berusaha menempatkan diri, memenuhi dan membangun jati dirinya. Wilayah itu pasti adanya, ia mungkin sedang menunggu kepastian agar diakui keberadaannya. Mungkin ia adalah yang selama ini ditinggalkan karena dianggap tidak menantang tidak bisa diharapkan menjadi sesuatu yang menarik, tempat yang membua pemiliknya merasa tertekan dalam ketakutan yang tidak beralasan – paranoia.
Kultur jaringan sudah terbentuk namun implementasinya di lapangan tidak terkendali, yang tampak adalah pernyataan yang bersifat intuitif, naluri keperempuanan masih lemah. Mungkin sensitifitas dari perempuan belaka yang membuat kegamangan membiarkan setiap topik untuk tetap mengambang, selalu membuka sisi relatif terhadap tajamnya proses penghsutan sebagai perangkat yang dianggap paling efektif – tampak hanya sebagai sebuah analogi ekstensif dari suatu aktifitas libidinal belaka – dominasi sensualitas dan erotisme yang terstimulir secara emosional, respon yang tersampaikan pada publik diterima sebagai bentuk geliat dan desah orgasmik dalam kontak sosial (berbanding terbalik dengan laki-laki yang memperolehnya melalui kontak seksual).
Sejarah dan adat budaya telah mencengkeram semangat dari target dan sasaran yang dituju oleh para feminis untuk menanamkan pemikirannya yang revolusioner, begitu bertolak-belakang dengan tanpa sedikitpun memberikan peluang evolutif yang bertahap tetapi memiliki kepastian, tidak ada yang mecerminkan proses difusi sosial yang benar. Situasi yang tidak bisa ditolerir adalah ketika terjadi penetrasi terhadap tema feminitas, terdapat celah yang membuka akses internalisasi dengan alasan feminitas. Padahal dalam konteks aselinya feminitas itu adalah kata ganti daripada perempuan yang berarti memiliki ciri yang jelas untuk masuk dalam lingkup perempuan – lahir batun. Keduanya (lahir-batin) adalah standar baku yang bersifat kumulatif atas identitas keperempuanan.
Persamaan hak, kesetaraan gender, kebebasan berpikir, perluasan ruang gerak, bukankah ini adalah merupakan suatu hal yang mendua? Tapi tetap terpolar pada gender maskulin dengan ciri phallus? Hal yang menimbulkan pro-kontra. Wilayahnya hanya sebatas untuk dipertimbangkan saja, bukan sesuatu yang konkret yang dapat menghentikan debat kusir berkepanjangan dan membungkam argumen semu yang tidak didukung oleh ciri vaginal. Inilah yang mesti ditegaskan , sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh setiap manusia – hanya sebgaian yang tertentu.
Sebuah dunia yang mampu menyelaraskan nafas kaumnya tanpa perlu disebut militan, ada dengan kesadaran yang pasti terhadap eksistensinya, satu pengetahuan bahwa dengan hal ini maka tidak akan ada penolakan dari apa pun juga. Yang bahkan dengan bekal pengetahuan saja – sejauh mana pun – tidak cukup untuk membuat seseorang dapat diakui sebagai perempuan meski hanya sekedar untuk menyandang sebutan itu. Di sana, tidak ada yang mempunyai kompetensi selain perempuan itu sendiri. Apa yang dikonsepsikan oleh perkembangan peradaban manusia terhadap perempuan memunculkan reaksi yang berbeda di kalangan perempuan sendiri, hal seperti ini dapat terjadi karena adanya perbedaan persepsi diantara mereka sendiri dalam mengidentifikasikan diri dan tubuh mereka sehingga secara definitif belum ditemukan kriteria standar untuk mengadakan penilaian terhadap wacana keperempuanan.
Pada sebagian besar perempuan, aktualisasi diri secara ekspresif yang mempunyai nilai jual dengan perspektif yang sangat bervariasi terhadap eksplorasi tubuhnya merupakan sebuah definisi. Dari sinilah kemudian asumsi tentang image keperempuanan menjadi suatu komoditas industrial, dan dalam kepentingannya, pihak industri menawarkan sebuah bentuk yang dapat mewakili citra perempuan sebagai konsumsi publik, dengan klaim sebagai rekaan hasil dari pemanfaatan produknya. Sementara kesepahaman terhadap eksistensi dan harga diri perempuan dimanipulir untu meredam atau minimal merelatifisir dampak negatif dari eksploitasi keperempuanan tersebut.
Pada keadaan umum, publik terlibat sebagai saksi sekaligus mempunyai hak sebagai penilai/juri, karena bagaimanapun juga visualisasi yang tertangkap pasti tersampaikan sebagai penawaran atas sesuatu benda produksi. Namun bagian yang terpenting sebenarnya adalah tentang apa yang secara umum menjadi perhatian dari publik terhadap obyek visual tersebut, pesan yang disampaikan atau kesan yang diterjemahkan? Ini hanyalah sebuah contoh dari ketidakseriusan kita dalam mendefinisikan sesuatu identitas, sehingga masih menyediakan celah kealpaan yang memberikan banyak peluang intervensi, yang ironis adalah bagaimana kita dengan sadar memang membutuhkan penetrasi tersebut agar diketahui oleh pihak lain yang juga berminat untuk memperoleh keuntungan.
Dasar pemikiran yang menjadi perhatian dari mereka secara garis besar yang seringkali diperdebatkan adalah terdiri dari beberapa sudut pandang yaitu, perempuan sebagai manusia, dan manusia yang berjenis perempuan. Kedua hal tersebut memiliki serangkaian perbedaan yang sulit untuk dicakup ke dalam satu tema besar keperempuanan. Menurut pendapat saya, memang mereka (kedua hal itu) tidak ada ujung-pangkalnya yang sama kecuali rasa ketakutan dan sakit hati terhadap diskriminasi atas keberadaan mereka. Tetapi bukan berarti bahwa dari sana nggak ada jalan keluar, satu-satunya hal yang mesti disadari oleh perempuan adalah bagaimana mengintegrasikan kedua tema tersebut sebagai rangkaian – tata urutan langkah – yang mereka tetapkan untuk diambil dalam mendefinisikan diri mereka sendiri, agar proses identifikasi yang dilakukan mempunyai kepastian untuk diakui dan diterima.
Hal ini sebaiknya jangan dianggap sebagai sesuatu yang relatif. Pertama, mereka harus membangun opini awal bahwa manusia tidak hanya terdiri dari laki-laki akantetapi juga perempuan. Kedua, bahwa manusia perempuan mempunyai ciri dan karakter khusus. Ketiga, perempuan sebagai manusia memiliki ruang dan waktu sendiri. Perempuan bukan idea, akantetapi sebuah wacana yang ada berdasarkan identifikasi atas keperempuanan sehingga mempunyai definisi yang baku dan tetap. Dengan demikian kerangka yang terbentuk dari idea keperempuanan dapat dengan tegas diajukan sebagai sebuah konsep yang matang sehingga menempati ruang dan waktuya dalam kehidupan kita manusia.
Namun bukan berarti pula hal ini tidak memiliki kendala, indikator utama yang dapat merusak keperempuanan adalah dengan tidak dipegangnya nilai, batas dan pola alamiah. Pada awalnya, saya sangat bangga dengan idea transparan tentang wacana keperempuanan yang membutuhkan pengakuan ruang dan waktu atas keberadaannya sebagai manusia.
Asumsi yang saya miliki adalah tentang logika penalaran yang meliputi etika. Sebuah kerangka tentang cara yang benar, kata yang layak, waktu yang baik dan tempat yang tepat. Semuanya dalam hubungannya dengan kepentingan perempuan, tubuh dan feminitasnya. Dan merekalah yang harus mendapatkan kehormatan itu – karena mereka perempuan yang jelas berbeda dari laki-laki (dari sudut pandang saya sebagai laki-laki, entah yang lain).
Sayangnya, kita sulit untuk melepaskan diri dari hubungan antara kegiatan seksual dengan orgasme. Bagi saya, adalah hak saya untuk menyediakan sedikit dari waktu yang saya punya untuk melayani pasangan saya, karena dia sudah memberikan banyak waktunya untuk saya, dan orgasme adalah rangkuman setara dari adanya perbedaan waktu tersebut (utopis? Secara pribadi hal itu adalah proyek ambisius saya dan pasangan saya? – TIDAK!).
Lalu, kemana identifikasi seksis itu mengarahkan kita? Puncaknya adalah simbiosis mutualisme, untuk mempertahankan keberadaan manusia – bila potensi itu terjadi secara merata, kalau pun tidak… sampaikan pengetahuan kita kepada sebagian besar yang mampu.
oleh: Agung Pramono
0 Opini:
Posting Komentar
silakan komen selama isinya nggak nyangkut SARA atau hal sensitif lain - karena saya sendiri nggak punya pengetahuan-nalar-logika yang mumpuni buat njaga agar nggak keluar jalur.