Senin, 05 Maret 2012

Hati Itu

Hati Itu

Aku bertanya pada diriku sendiri: “pernahkah kamu masuki ruang hatimu?”

“belum”

“cobalah”

Tapi ia bukan gumpalan daging yang apabila dilemparkan kepada anjing dapat disantap sebagai makanan yang mengenyangkan.

Benteng dan gerbangnya adalah dada (shadr) yang kokoh yang karenanya agak padat-sesak dengan bekal kebaikan karena banyak yang belum dimasukkan kedalam melalui gerbangnya yang jarang sekali terbuka kecuali disaat sakit saja sehingga sempitlah yang pasti kamu rasakan, mereka tidak mungkin membukanya sendiri tanpa ijinmu, kecuali kejahatan yang terbawa oleh si iblis laknat seperti debu namun itulah yang sebenarnya membuatmu merasakan sesak.

Marilah masukkan dan boyong semua yang masih bertumpuk diluar ini oleh dirimu sendiri, bukalah gerbangnya dan tak apalah sementara diletakkan di kebun dan pertamanan di dalamnya yang tertulis sebagai hati (qalb).

Kemudian apakah kamu melihat bangunan kecil berpintu kayu rapuh di tengah kebun-taman itu?

Dialah nurani (fuad), yaitu suatu tempat dimana malaikat dan mahluk lainnya dibuat takjub karena hanya Adam yang diberikan hak dan kemampuan untuk membuka pintunya, dan bahkan iblis bingung karena merasakan perih juga sakit di depan pintunya.

Bukalah, maka kamu akan melihat sebuah ruang tanpa batas yang berkilau keemasan dengan pendar bola cahaya keperakan yang melayang ditengahnya, itulah yang disebut misteri terdalam (syaghaf).

Cobalah kemudian untuk melangkah maka disetiap jejakmu tumbuh semak hijau berbuah permata beragam warna: zamrud, mutiara, ruby, saphir dan sebagainya.

Kamu tidak akan berkeringat meskipun mampu mengelilinginya, kalaupun ada yang menetes maka dua bidadari akan meyekanya dari sebelah kanan dan kiri juga si pemuda (wildan) menyiapkan secangkir minuman segar dengan rasa yang kau pikirkan.

Ada saat dimana kau akan melihat begitu banyak mahluk yang bersujud menuju suatu arah dan kamu tidak perlu melakukannya, malah mendapat belaian serasa angin sejuk.

Lalu dimana pembaringanku atau pelaminanku?

Rindukanlah isterimu, maka kau akan menangis karenanya dan airmata yang jatuh karenanya akan merayap, memecah sembari melukis keindahannya yang anggun dan memberinya warna yang kau inginkan, kemudian peluk hangat seorang permaisuri istana akan terasa mendekap erat dari belakangmu, dialah sang penghulu bidadari itu.

Bagaimana bila isteriku tidak dalam satu tempat ini melainkan di dalam api?

Airmatamu akan menyiram api yang membakarnya, kemudian memandikannya hingga kembali utuh dan alirannya akan meyampaikannya kepelaminan. Tidurlah barang sebentar, karena saat kau terbangun maka kemudian kamu ketahui dia akan terbaring disisimu tanpa pakaian, maka belailah dia hingga terbangun untuk mengenakan jubah sutera yang tersedia di sisi pelaminan.

Lalu bagaimana dengan keluargaku? 

Dimana mereka?

Tanyakanlah kepada penduduk di dalam bangunan itu, dan kemudian lihatlah siapa diantara mereka yang menjawab, perhatikanlah kepada wajahnya dengan lekat bahwa mereka yang menjawab itulah yang sedang kau cari.

Mengapa masih ada airmata dan pertanyaan? Apakah masih ada perasaan?

Tentu masih akan ada dan terus ada, namun semuanya telah bekerja sesuai dengan aturan dan kadarnya.
Bahkan marah, dan ketika kau marah maka kemudian para pemuda (wildan) akan membawamu kehadapan sebuah cermin rupawan dimana kalimat yang baik akan terucap dari mulutmu saat kamu melihatnya.

Bagaimana dengan kebencian?

Tetap akan kamu rasakan benci itu, namun dia yang tidak kamu sukai akan datang kehadapanmu dan menjelaskan kepadamu dengan bahasa keakraban yang kau harapkan.

Tapi… ini semua tentang aku yang laki-laki. Lalu bagaimana dengan yang perempuan?

Aku tidak tau, karena ini hanyalah sekedar sepenggal dari mimpi yang masih teringat untuk kutulis yang dapat membuatku tenang dan khidmat – hingga suatu saat aku terbangun dari tidur.

Dan bukankah aku hanya sekedar menuliskan tentang isi dari hati yang kumasuki itu?

oleh: Agung Pramono

0 Opini:

Posting Komentar

silakan komen selama isinya nggak nyangkut SARA atau hal sensitif lain - karena saya sendiri nggak punya pengetahuan-nalar-logika yang mumpuni buat njaga agar nggak keluar jalur.